Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Rumah Surga dan Neraka


“Kamu mau yang mana?”

Bocah kecil berkulit merah maroon sedang memamerkan dua buah permen lolipop kepada seorang bocah lainnya. Satu di tangan kanan satu dan satu lagi di tangan kirinya.

Bocah di hadapannya yang memiliki sepasang sayap dan lingkaran nimbus di atas kepalanya terlihat girang tapi matanya menatap liar. Lalu secepat kilat dia menggenggam kedua permen. Masing-masing di dalam telapak kanan dan kirinya.

“Aku mau dua-duanya!” serunya.

Bocah berkulit merah berteriak kesal karena tidak bermaksud membagi kedua permennya.


“Satu saja!” serunya setengah memohon. Sepasang tanduk mungil yang mencuat dari batok kepalanya mulai berpendar pertanda marah. Tapi pertahanannya kurang kuat sehingga bocah bersayap berhasil merebut kedua permen itu lalu berlari menjauh.

Bocah berkulit merah pun mulai menangis sesenggukan. Sebaliknya bocah bersayap tertawa puas sambil memandang dua permen di tangannya.

“Dasar malaikat kecil! Tidak boleh egois, ayo bagi permennya!”
Seorang wanita tua kurus dengan rambut seputih salju masuk ke ruangan bermain. Walau nampak sudah renta, dia masih saja lincah mengejar dan menangkap bocah bersayap itu lalu menggenggam kedua tangannya erat-erat.

Bocah bersayap sepertinya hendak menggigit tangan wanita tua itu. Tapi dia mengurungkan niatnya karena jari telunjuk wanita tua yang kini teracung kepadanya mengeluarkan cahaya berwarna merah tembaga.

“Zaphael, apa yang pernah Nany bilang tentang kebiasaan menggigit?”

Takut sentilan telunjuk Nany menyakitinya, bocah bernama Zaphael itu pun terdiam.

“Ayo, sekarang berikan satu permennya kepada Diablo. Setelah itu minta maaf. Dia sudah berbaik hati memberi, jangan malah dirampas habis-habisan. Ayo cepat!” Nany meninggikan suaranya.
Dengan gontai, Zaphael menghampiri bocah berkulit merah yang bernama Diablo itu, menyerahkan lolipop di tangan kirinya, lalu menyalaminya.

“Nah, begitu kan bagus,” puji Nany.

Gemerincing suara lonceng kereta kuda terdengar dari arah depan rumah. Dari suara dua lonceng yang berbeda, mestinya ada dua kereta. Tak lama kemudian, dua pria sais kereta masuk dan memberi salam dengan hormat. Seorang berkulit merah menyala dengan sepasang tanduk menjulang di kepalanya. Yang satu lagu berkulit halus bercahaya dengan sepasang sayap dan lingkaran nimbus di kepalanya.

Nany membalas sapaan mereka dengan sopan lalu mengajak kedua bocah di depannya untuk bersiap-siap.

“Nah, jemputan kalian sudah datang. Ayo berkemas, pastikan tidak ada yang tertinggal.”
Tak lama kemudian, kedua kereta itu pun meninggalkan rumah Nany. Kereta yang menuju ke surga membawa Zaphael, sementara Diablo ikut di dalam kereta yang mengarahkan perjalanan ke neraka.
Nany memandang kepergian mereka sambil menggelengkan kepala.

“Rumah memang bisa mengubah segalanya,” ucapnya pada diri sendiri.


---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari:www.dreamstime.com




Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

El Diablo






 photo Jangancopasing.jpg

Komentar