Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Tahu Diri versus Toleransi




Tahu diri
perutnya ceking tak disuguhi gizi
matanya cekung ditohok matahari
jiwanya kerdil gemetar bersembunyi
.
Setiap pagi dia terus menghitung helai daun jati yang berguguran
menghitung berapa lama lagi kemarau menyekap bulan
berapa lama lagi napasnya sanggup bertahan

.
Dia tahu
dia hanyalah lilin yang sebentar lagi dipadamkan kehidupan
dia tak akan lama bertahan.
.
Saat hujan pertama merembesi tanah dan bebatuan
tunas muda hijau pun bersemi
taman menyingkapkan kembang warna-warni
langit membiru, sungai mengalir dan purnama menebar senyuman.
.
Tahu diri
menghilang
.
Tidak
dia beralih rupa menjadi lebih manusia.
Matanya bercahaya, tubuhnya elok memesona.
Dia menapak dan menari di atas rerumputan yang merona
Dia telah melebur dalam keindahan alam yang menawarkan bahagia.
.
Dia bukan lagi tahu diri
kamu harus memanggilnya kini
Toleransi. 

---

kota daeng 112 #SaveNKRI




pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari:www.greatindex.net




Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Gandum dan Ilalang





 photo Jangancopasing.jpg

Komentar