Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Waktu surut hampir paripurna, begitu bisik angin laut.
Karabeam, sang kepala suku, memberi titah kepada rakyatnya
agar mengumpulkan makanan lebih cepat lagi. Cacing, lumut, bangkai, apa pun
yang bisa dijadikan persediaan.
Pasang naik kali ini akan menjadi yang terlama dalam sejarah
peradaban kepiting, begitu bisik angin laut. Minyak hitam beracun tumpahan kapal
akan segera sampai ke pesisir sehingga mereka harus istirahat berbulan-bulan di
bawah pasir.
“Heh!” Karabeam berseru kepada kepiting tua di sebelah
karang berbentuk sepatu. “Jangan malas-malasan!”
Karabeam memang sedang lelah lahir batin. Dia harus
memikirkan kelangsungan hidup kaumnya sekaligus memikirkan istrinya yang saat
ini sedang uring-uringan karena musim bertelur tiba.
Karabeam marah lagi saat rakyatnya bubar, kocar-kacir
seperti paguyuban sabung ayam digerebek polisi.
“Siapa suruh bubar?! Siapa suruh bub…!”
Karabeam kelu dan tak bisa bergerak. Dia terlalu marah
sampai tidak awas lagi dengan keadaan sekitar, juga mengabaikan seruan-seruan
rakyatnya. Tubuhnya dihimpit ke pasir oleh logam keras. Memang matanya bisa
berputar 360 derajat, tapi tidak kedua capitnya. Pelakunya siapa lagi kalau
bukan Ikan Darat, panggilan mereka
untuk anak-anak nelayan.
Ikan Darat kini
tertawa puas memandangi tangkapannya.
Karabeam menangis, tidak menyangka hidupnya akan berakhir di
Neraka Panci. Yang membuat sedih, dia
belum sempat mencari pengganti dan mengucapkan perpisahan kepada istrinya.
----
ilustrasi gambar dari: neferjournal.livejournal.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Kisah Opa Melawan Kompeni
Komentar