Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Matahari Terbenam di Ufuk Hati



Hari hampir beranjak jadi malam di bibir pantai Akarena. Air laut sedang menjauh ke samudera, meninggalkan hamparan pasir basah berwarna tembaga ditempa matahari senja. Nadine berjalan lambat, membiarkan kaki telanjangnya bersentuhan dengan pasir, lubang kepiting dan serpihan waktu.


HP-nya berbunyi. Sekali pandang, wajah lelaki yang telah menyakiti hatinya muncul di layar. Dia rasanya ingin berteriak marah saat itu, atau paling tidak menolak panggilan itu. Tapi hari-hari kontemplasi rasanya sudah cukup menetralkan kembali emosi dan kedewasaannya. Dia harus kuat di mata Ray, jadi dia memutuskan menjawab panggilan tersebut.

“Halo,” walau dengan intonasi sedingin kutub utara.

Percakapan pun terjadi. Awalnya berlangsung flat, lalu nada Nadine dan lelaki itu meninggi. Nadine menahan dirinya supaya tidak memaki. Dia lalu terdiam lama, sebelum lelaki itu memanggil-manggil

“Lupakan saja saya, Ray. Saya sudah mau menikah!” Nadine melanjutkan tuturnya dengan nada yang sudah mulai melunak.

“Hah?! Kita baru putus dua minggu, lalu kamu sudah mau menikah? Luar biasa!” terdengar suara penuh amarah dari speaker HP.

“Saya sudah dilamar lama sebenarnya. Hanya selama ini saya berusaha mempertahankan hubungan kita…”

“Siapa namanya?”

“Siapa?”

“Siapa nama laki-laki itu?”

“Widodo…”

“Dimana dia tinggal?”

“Sudahlah. Tidak penting, setelah menikah kami juga akan pindah dan tinggal di Bandung…”

Pembicaraan terputus.

Air mata Nadine meleleh. Dia masih berjalan beberapa helaan napas lagi, sebelum seorang bapak berbaju safari memanggilnya. Saat itu matahari benar-benar hampir terbenam, tetapi masih bisa terlihat jelas kalau sebagian besar rambut di kepala bapak itu telah memutih.

Nadine menghampirinya setelah memastikan tidak nampak lagi sisa-sisa air mata di pipinya.

“Pak Widodo, ada apa?”

Bapak itu tersenyum hormat.

“Ini, Non. Nyonya besar barusan telepon, katanya HP Non Nadine sibuk.”

“Oh iya, Mama bilang apa, Pak?”
“Nyonya minta saya segera mengantar Non pulang karena pak Haerudin ternyata sampai malam ini.”

“Oh ya? Saya pikir Om Her dan keluarga baru dari Bandung besok malam, Pak.”

“Nyonya bilang malam ini, Non.”

“Baik kalau begitu, Pak. Tapi saya ke toilet dulu, ya.”
Sepuluh menit kemudian, mobil Xenia hitam meluncur meninggalkan areal pantai. Widodo di belakang setir dan Nadine duduk di belakangnya. Dia kembali melamun. Di luar, malam semakin menampakan wajahnya.

Saya lebih terkejut, batin Nadine.

Kita sudah berpacaran dua tahun, tetapi kamu tetap tidak ingat dengan nama sopir pribadi saya. Jika kamu tidak menghargai hal-hal kecil, bagaimana saya mengharapkanmu menghargai yang lebih besar.  Maafkan saya sudah membohongimu. Tetapi mungkin inilah jalan yang terbaik untuk saya dan kamu. 

---


pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari http://weheartit.com/


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Melodi Hujan, Melodi Penantian





 photo Jangancopasing.jpg

Komentar