Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Embun Memanggil Perang



Di atas butir embun sebuah aubade dimulai
pertanda mimpi terakhiri dan ikhtiar diawali
tabuhan genderang perang sebarkan bunyi
pasukan awan berderap memanggil prajurit sejati
dipimpin panglima raja hari.

.
Klakson dan derum mesin-mesin luluhlantakkan sepi
memaksa peluang keluar dari celah pundi-pundi
tubuh-tubuh pun memasak kalori rembeskan bulir peluh
kerajaan para pekerja bergeliat dalam ria dan keluh.  
.
Panglima berteriak lantang di atas tahta
dan kita prajurit berperang dengan gagah perkasa
berjibaku di medan terbuka
lumpur menghitam di kaki sawah desa                                                              
atau ruangan beraroma lavender di belantara beton kota.
.
Di bawah panji-panji perang
kita melawan nasib dan kestatisan
anehnya perang ini tak memiliki pemenang
kita selalu kalah agar selalu punya alasan berjuang
.
Lalu akhirnya kita sadar
kalah dan menang hanya permainan alam bawah sadar
.
Perang kita bukan untuk mencari pemenang

melainkan untuk memisahkan pencundang dan pejuang. 

---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari: embunhati.com



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Gandum dan Ilalang








 photo Jangancopasing.jpg

Komentar