Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Rumah Tanpa DP


Badrun duduk tanpa semangat di atas dermaga kayu kecil yang menjorok di atas sungai. Sungai itu membelah sisi timur kota metropolitan, memisahkan perkampungan dan kawasan perumahan elite.
Mata kail Badrun sejak tadi tak bergerak di dalam sungai. Ikan-ikan belakangan ini seperti lagi mogok makan.

Langit sedang diliputi mendung. Suasana sepi senyap. Celoteh bocah-bocah tidak terdengar petang ini, tidak seperti biasanya. Semesta pun seperti berempati dengan perasaan Badrun saat ini.
Hanyut dalam keheningan itu, membuat Badrun jadi terkejut setengah mati saat Soleh mengejutkannya dari belakang.

“Kambing, eh kambing.!” Badrun berseru latah. Gagang pancingnya hampir terjun ke sungai saking kagetnya.

Soleh pun tertawa puas.

“Sialan elu, Leh! Untung jantung gue kuat lahir batin…”

“Sori, Bro. Tadi gue cuma mau mastiin elu masih hidup. Habis dieeem aja kayak manekin sakit gigi.”

Soleh pun ikut duduk di sisi Badrun sembari meletakkan tas bututnya. Soleh ini asisten juragan Luki, orang terkaya di kampung pinggir sungai itu. Kerjaannya tiap hari keliling door to door menagih pembayaran pinjaman warga kampung yang hobi kredit dengan bunga “hanya” 10% per bulan ke juragan Luki. Bunganya memang tinggi, tapi warga tetap senang karena proses kreditnya tidak pakai lama dan ribet. Asal ada agunan sejenis BPKB atau perhiasan emas, dalam hitungan jam kredit bisa langsung cair.

“Kenapa sih lu? Kayaknya suntuk banget!” tanya Soleh.

Badrun kemudian mengamati wajah Soleh sambil menimbang-nimbang dalam hatinya.
Si Soleh ini kadang-kadang ember bocor juga. Tapi ya tidak apa-apa curhat aja. Siapa tahu dia punya solusi, batin Badrun.

“Ada apa? Gue cakep ya? Hehehe...”

Badrun pun menghembuskan napas panjang sebelum mengawali curhatannya.

“Iya nih, Bro. Itu… si Mirah. Dia belum bersedia gue lamar kalau belum punya rumah sendiri. Elu kan tahu, rumah sekarang harganya selangit. Sementara gue cuman loper koran rangkap tukang parkir rangkap penampung plastik. Pendapatan pas-pas, mana bisa punya rumah dalam waktu sedekat ini.”

Soleh pun manggut-manggut setelah memahami duduk permasalahannya.

“Memang cewek masa kini seperti itu, Bro…”

“Sebagai orang yang malang melintang dalam dunia perkreditan, elu punya solusi gak?” todong Badrun.

“Kalau rumah lelang lu mau gak? Gue punya teman yang bisa bantu…”
Badrun menggaruk-garuk kepalanya “Duh, denger-denger ribet, Bro. Lagian tetap mesti sedia dana lumayan besar, kan?”

“Iya juga sih.”

Keduanya terdiam. Suasana lengang kembali. Matahari berwarna tembaga telah mengintip di balik gedung-gedung pencakar langit dari kejauhan, pertanda tak lama lagi waktu mahgrib tiba.

“Nah!” seru Soleh. Untuk kedua kalinya Badrun terkejut.

“Kenapa sih elu hobi banget ngagetin orang?”

“Hehehe…. Sori lagi, Bro. Gue baru ingat, bos gue punya teman seorang developer yang baik hati yang mencintai aku apa adanya. Eh, kok malah nyanyi… teman bos gue ini sedang getol-getolnya menawarkan perumahan murah untuk masyarakat miskin.”

Mulai nampak binar-binar kehidupan di mata Badrun. Tapi dia tetap menyindir Soleh,

Elu ngomong miskin tidak perlu melototin gue seperti itu dong…”

“Lah, emang elu orang kaya?”

“Bukan…”

“Makanya…”

“Lanjut, lanjut. Harga rumahnya emang berapa, Bro?” Badrun kelihatan mulai tidak sabaran.

“Mm… kisaran 150 sampai 200 juta, type 36… Bisa diangsur sampai 15 tahun lagi.”

“Itu angsurannya berapa ya, Bro?” .

Insting bisnis Soleh langsung muncul. Dia pun mengeluarkan sebuah kalkulator dari dalam tasnya. Memang juragan Luki, bosnya, pernah bilang Soleh juga bakal dapat persenan kalau ada unit rumah murah yang bisa terjual lewat tangannya.

“Nah, kalau misalnya nih ya kita ambil harga termahal, 200 juta saja, dibagi 180 bulan berarti angsuran pokoknya Rp1.112.000…. Itu baru pokok ya”

“Kalau segitu sepertinya gue masih kuat, Bro. Bunganya berapa?”

“Bunganya ini yang mesti gue cek lagi. Tapi katanya bunganya murah banget, Bro. Nanti gue bantu cari infonya kalau elu memang benar-benar tertarik.”

“Memang menarik, Bro. DP-nya bagaimana?”

“Nah, ini yang menarik, DP-nya nol rupiah loh.”

“Haah? Serius?”

“Serius! Tapi karena DP-nya nol, elu mesti nabung dulu selama enam bulan sebelum akad kredit.”
Kening Badrun mengernyit, “Maksudnya?”

Elu mesti nabung dulu, jadi semacam pengganti DP-nya begitu.”

Badrun mengangguk-angguk, entah paham atau tidak. Yang jelas dia kini membayangkan rencananya menikahi pujaan hatinya mesti ditunda dulu sampai enam bulan.

“Itu enam bulan sudah ketentuannya seperti itu, atau masih bisa didiskon lagi, Bro?”
Soleh berusaha mengingat-ingat lagi tetek bengek urusan rumah murah yang pernah diajarkan oleh bosnya.

“Kalau gak salah, enam bulan itu jangka waktu menabung paling lama. Lebih cepat boleh, asal setelah masa menabung selesai, saldo tabungan elu sama dengan 10% dari harga rumah.”

“Sepuluh persen?”

Soleh mengangguk. Wajah Badrun terlihat tidak enak kembali.

“Coba elu hitung kalau misalnya gue ambil rumah yang harga Rp150 juta. Selama enam bulan mesti nabung berapa?”

Jari-jari Soleh kembali menari-nari lincah di atas tuts kalkulatornya.

“10% dari Rp150.000.000 itu Rp15.000.000, dibagi enam dapatnya… Rp2.500.000. Elu mesti nabung paling nggak Rp2.500.000 per bulan, Bro.”

“Mampus…!!” refleks Badrun memaki dirinya sendiri. “Itu duit semua, Bro?”

“Iyalah! Masa dicampur daun?”

“Yaah… gak jadi nikah deh gue, Bro…” suara Badrun terdengar lemas.

Soleh pun tertawa dalam keprihatinan.


---


pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari: aliexpress.com



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Taufik dan Klinik Tang Fong








 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Unknown mengatakan…
Menarik bung! DP ndak DP sama2 bikin kantong bolong 😃
pical gadi mengatakan…
Hahaha... ujung-ujungnya begitu.