Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Bocah di Bawah Payung




Malam membawa bulir-bulir hujan ke atas kota metropolitan. Pandangan memburam. Warna-warni cahaya lampu kendaraan dan neon box meluruh dalam satu frame seperti mozaik yang dihadirkan peradaban.

Seorang bocah lelaki di bawah payung tidak larut dalam air mata langit itu, malah nampak gembira karena hujan berarti berkah. Payung tua berwarna jingga yang sedang mekar menegarkan diri dari terpaan angin malam, seperti terbakar semangat bocah sang empunya payung.


Seorang wanita muda yang mengenakan blues di depan pintu toko buah pada pertokoan seberang jalan memanggil dirinya. Bocah yang beberapa bulan lagi berusia delapan itu berlari girang. Satu panggilan seperti itu berarti sakunya akan terisi paling tidak dua ribu rupiah. Umpatan seorang pengendara mobil yang mesti mengerem mendadak juga panggilan dari bocah sebayanya tak dihiraukannya lagi.

“Nak, sampai di rumah makan yang sana, ya,” ucap wanita muda sembari menunjuk neon box sebuah restoran Itali yang menyembul di antara belasan neon box lainnya kurang lebih seratus meter di sebelah barat mereka.

Bocah mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menembus tirai-tirai hujan yang semakin rapat. Untunglah bocah membawa payung cadangan yang lebih kecil dan nampak lebih uzur dari payung jingga yang kini berada di tangan wanita muda.

Rejeki sedang berpihak kepada si bocah. Setelah sampai di rumah makan yang dituju, dia disodori uang dua puluh ribu rupiah untuk jasanya dan wanita itu meminta bocah menyimpan kembaliannya.

 Setelah itu seorang bapak bertubuh tambun, yang sejak tadi berdiri di teras restoran dan melihat gelisah ke arah jam tangannya juga ikut memanggilnya.

“Nak, sampai di halte depan toko Velvet, ya?”

Bocah itu berpikir sejenak.

Agak jauh, tapi tidak apa-apa lah, batinnya. Dia pun mengangguk. Dalam sekejab payung jingga kembali berpindah tangan. Pria tambun berjalan tergesa-gesa, dan bocah mengekor dengan sabar.
Setelah pria bertubuh tambun, payung itu kembali perpindah ke tangan seorang wanita tua berkacamata tebal, lalu kepada seorang mahasiswi yang baru turun dari mikrolet, seorang bapak yang sedang menunggu taksi online, sepasang pemuda-pemudi yang sepertinya akan menghadiri resepsi mewah dan beberapa orang lain lagi.

Tanpa terasa bocah itu semakin jauh meninggalkan tempatnya semula. Tapi semangat dan sakunya yang membengkak karena lembaran-lembaran rupiah jauh mengalahkan kekhawatirannya.

Akhirnya sampailah payung jingga itu ke daerah pinggiran kota yang sepi dan suram. Hujan tidak menari selincah tadi, tapi gerimis yang berjatuhan tetap saja mengiris kulit.

Suara serak seorang wanita menghampiri gendang telinganya. Suara itu berasal dari sebuah kedai kopi yang terasnya dihiasi beberapa lampion merah menyala. Di sekitar situ ada beberapa wanita berpakaian minim, memamerkan lekuk-lekuk tubuh yang menantang geliat petualangan lelaki dewasa. Namun tidak untuk bocah itu.

Dia pun mendekat tanpa firasat.

Pada saat menjajari beberapa sepeda motor yang parkir di depan teras kedai, dia terkejut karena wanita sahabat wanita yang tadi memanggilnya ternyata mengenalnya.

“Rudi…!!??”

 Wanita itu terkejut karena mengenalnya dengan baik. Bocah bernama Rudi ternyata juga mengenal wanita itu dengan baik,

“Ibu...!!??”

Keheningan segera menyusup di antara bulir hujan di tempat itu.


---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari http://guestexperiencedesign.com



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Matahari Pilek









 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Suryadiarmanrozaq mengatakan…
masalah sosial yang terjadi di kota besar, good post mas
pical gadi mengatakan…
Makasih sudah mampir mas. Salam hangat :)