Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Pelukis Langit: Kefanaan yang Indah




Lukisan-lukisan di dalam kamar ternyata jauh lebih banyak dan semuanya terlihat jelas tanpa penutup. Sebagian terpajang di dinding, sebagian tertumpuk di lantai, ada yang masih tergeletak di atas meja dan sudut-sudut kamar. Anehnya, semua lukisan tersebut bertema langit.

Satu-satunya penerangan dalam kamar berasal dari pelita yang diletakkan di atas meja rias searah kepala gadis yang tengah pulas di balik selimutnya. Tapi bukan masalah bagi mataku untuk melihat keindahan-keindahan pada lukisan itu dengan minimnya cahaya.

Hei… hei… itu seperti diriku!

Aku mendekat ke salah satu lukisan. Nampak di situ seorang pemuda duduk beralaskan awan, memakai baju zirah dari emas. Samar-samar aku melihat motif kepala Dophan di lengan zirah. Ini pakaian khas pemimpin Ephamus, dan tampang pemuda itu benar-benar seperti tampangku.

“Siapa anda, Tuan?”

Suara lirih itu mengejutkanku. Aku berbalik tiba-tiba sehingga menimbulkan suara gaduh di atas lantai kayu.

Gadis berambut merah itu telah berdiri tiga langkah dariku. Dia memegang pelita yang membuat wajahnya terlihat merona. Tidak ada raut wajah ketakutan di situ.

“Maaf… maafkan aku, Nona. Aku telah lancang…”

“Siapa anda, Tuan? Aku sepertinya sering memimpikan anda.”

“Namaku Endoras, aku… aku berasal dari Ephamus.”

Gadis itu mengernyitkan kening. Mungkin sedang mencari-cari nama Ephamus di laci-laci memorinya.

“Aku senang sekali jika boleh mengetahui nama anda, Nona…”

“Panggil saja aku Bella, Tuan Endoras.”

“Nona Bella, maaf, apa anda sama sekali tidak khawatir dengan kehadiranku di sini? Di tengah malam buta ini?”

“Tidak ada aura jahat dalam diri anda, Tuan. Aku bisa melihatnya, dan sekali lagi aku pernah memimpikan anda. Jadi pertemuan yang tidak biasa ini mungkin sudah diatur Dewa.”

Aku tersenyum lega.

“Apa yang membawa anda ke pondok yang sederhana ini, Tuan Endoras? Selarut ini.”

“Lukisan-lukisan ini. Aku suka memandangnya.”

“Oh,…”

Wajah Bella menghangat,  garis-garis senyuman mulai nampak di situ. Dia beranjak mendekat lalu menuntunku lebih dekat dengan lukisan-lukisan itu.

“Aku senang bertemu dengan pengagum seni.”

“Ya. Walaupun ini sebagian besar adalah lukisan langit dan segala hiasannya, aku melihat emosi yang kuat dari setiap lukisan. Bahagia, sedih, amarah… Seperti lukisan ini,” aku menunjuk lukisan yang berdiri tersandar di dinding dekat jendela. Bella mendekatkan pelitanya. Lukisan itu adalah lukisan awan kelabu dengan garis-garis halilintar yang tegas. Langit sedang marah saat itu, aku seperti sangat familiar dengan pemandangan ini. “…ada kesedihan yang dalam dan amarah yang kuat sekaligus.”
Bella mendekat dan menyentuhkan telunjuknya di atas salah satu sisi lukisan.

“Benar… langit seperti sedang marah saat itu. Lukisan ini aku buat sekitar dua tahun yang lalu.”

Ah, benar saja. Pasti ini dibuat Bella pada saat ayah pergi untuk selama-lamanya.

“Tidak salah lagi. Ini lukisanku..,” gumamku.

“Maaf, Tuan…”

“Aku juga seorang pelukis, Nona Bella. Tapi aku melukis dengan awan, purnama, hujan dan halilintar dengan langit sebagai kanvasnya.”

“Anda seorang pelukis langit, Tuan? Jadi mitos itu benar adanya?”

Terlihat binar-binar bintang dalam mata Bella. Dia benar-benar bergairah, tanpa ragu sedikitpun. Rasanya belum pernah aku melihat manusia bumi yang hatinya setulus ini. Aku pun mengangguk mantap.

“…dan Ephamus itu adalah kota di atas awan?”

“Ya, Nona Bella.”

Bella nampak sangat gembira. Mungkin satu-satunya penghalang dia tidak segera melompat dan memelukku adalah aku dan dirinya baru bertemu sekali ini.

“Tuan Endoras, jangan bilang kalau keindahan langit yang aku pindahkan ke atas kanvas ini adalah lukisan-lukisan anda juga!”

Aku tersenyum, “Sayangnya, sebagian besar seperti itu, Nona.”

Senyuman Bella sedikit surut.

“Ayolah, semua seniman sejatinya adalah peniru seniman yang lain, bukan?”

Bella setuju.

**
Menit-menit berikutnya berlalu tanpa terasa. Aku menunjuk beberapa lukisan Bella yang terinspirasi dari lukisan langitku. Dia bercerita tentang perasaan yang dititipkannya pada setiap lukisan, dan aku pun bercerita tentang perasaan yang kutitip pada langit saat itu. Kami tertawa, bersedih, marah dan tersenyum saat mengulas kisah di balik lukisan-lukisan itu.

“Bella, bersediakah kamu mengunjungi rumahku di Ephamus?”

Bella menatap tak percaya. Ada seribu jawaban iya dari cahaya matanya. Tapi dia terlihat ragu.

“Ada apa, Bella?”

“Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendirian di sini.”

“Ibu?”

“Ya. Aku harus merawat ibu yang menderita lumpuh sejak ayah meninggal hampir sepuluh tahun 
yang lalu.”

Mengapa aku tidak tahu persoalan Bella yang satu ini?

 Kamu tinggal bersama ibumu di sini?”

“Ya, Tuan. Dia tidur di kamar bawah.”

“Bukankah keributan kita pasti telah mengganggu tidur nyenyaknya?”

Bella menggeleng sedih. “Dia tuli sejak lahir, Tuan. Jadi… bagaimana mungkin aku… aku meninggalkannya.”

Aku menggenggam tangan Bella.

“Kalau tuli sejak lahir mungkin sedikit sulit. Tapi penyakit lumpuh, aku tahu cara membuat ramuan yang bisa menyembuhkannya. Kita hanya perlu beberapa tanaman obat, hanya entah bagaimana kalian di bumi memberi nama tanaman-tanaman ini.”

“Katakan saja namanya…,” pinta Bella.

Saat hendak menyebut nama salah satu tanaman, terdengar suara guntur yang memekakkan telinga.

“ENDORRAAASSS…!! WAKTUNYA HAMPIR TIBAAA….!!”
Suara menggelegar itu terdengar memenuhi langit. Itu suara ibuku. Dia rupanya sudah mengetahui keberadaanku di tempat ini.

Bella terheran-heran.

“Apa yang terjadi? Mengapa kamu nampak kebingungan?”

Bella sepertinya tidak bisa mendengar suara langit itu.

“Aku harus segera pergi, Bella. Aku akan kembali besok malam. Aku harus pergi…”

“Mengapa? Bagaimana dengan ibuku?”

“Dia akan baik-baik saja, aku janji.”

Lalu tanpa memerdulikan reaksi Bella lagi, aku segera berlari ke arah balkon dan melompat beberapa kali sampai tiba di punggung Dophan tungganganku yang sudah siap sedia di atas atap rumah.

“Ayoo….!!”

Aku pun memacu merpati raksasa itu terbang secepat mungkin ke arah langit.

Tapi sepertinya terlambat….

Secercah cahaya fajar muncul di ufuk timur. Kegelapan malam segera akan berganti dengan pagi. Suara ibuku kembali terdengar memenuhi langit. Dia memanggil namaku dengan suara pilu.
Dophan tungganganku terus saja terbang, sementara tubuhku melayang dengan deras ke arah bumi. Pada setiap helaan napasku, aku merasa semakin dekat dengan kefanaan.

**

Dua tahun kemudian

Aku membuka kedua mataku dan membiarkan hidungku menghirup udara lembah sepuasnya.
Saat ini aku dan Bella sedang melepaskan lelah setelah seharian mengurus ladang dengan berbaring menghadap langit beralas rerumputan. Di bawah sana, dengan cekatan ibu memetik bulir-bulir anggur yang siap dipanen. Dia menolak saat kami memintanya untuk istirahat. Katanya terus bekerja selagi mampu adalah caranya mensyukuri kesembuhan dari penyakit lumpuh yang pernah dideritanya.
Sementara itu, Ninoy putra pertama kami tertatih-tatih mengejar seekor anak kelinci dengan tawa gembira.

 “Hei…,”

Bella menyahut.

“Itu pasti lukisan Ergos, sepupuku. Dia senang membuat awan-awan berbentuk jari jemari,” aku menunjuk barisan awan di sebelah sana.

Bella tersenyum lalu meletakkan tangannya di dadaku. Pada awalnya dia memang selalu berpikir aku masih merindukan Ephamus. Tapi seiring waktu dia sadar sudah takdirku dan sudah takdir kami untuk hidup bersama di bumi ini.

Biarlah Ephamus menganggap aku seorang pengkhianat yang menyedihkan. Aku merasa benar-benar bahagia di bawah sini. Bertemu cinta sejati dan membangun keluarga yang baru . Mengurus pertanian kecil untuk penghidupan kami, memindahkan keindahan alam ke atas kanvas dan merangkai mimpi-mimpi masa depan kami.


Siapa bilang kefanaan itu menyedihkan?

---tamat---


pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari http://kabarmakkah.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Mengecup Keabadian









 photo Jangancopasing.jpg

Komentar