Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Lukisan-lukisan di dalam kamar ternyata jauh lebih banyak
dan semuanya terlihat jelas tanpa penutup. Sebagian terpajang di dinding,
sebagian tertumpuk di lantai, ada yang masih tergeletak di atas meja dan
sudut-sudut kamar. Anehnya, semua lukisan tersebut bertema langit.
Satu-satunya penerangan dalam kamar berasal dari pelita yang
diletakkan di atas meja rias searah kepala gadis yang tengah pulas di balik
selimutnya. Tapi bukan masalah bagi mataku untuk melihat keindahan-keindahan pada
lukisan itu dengan minimnya cahaya.
Hei… hei… itu seperti
diriku!
Aku mendekat ke salah satu lukisan. Nampak di situ seorang
pemuda duduk beralaskan awan, memakai baju zirah dari emas. Samar-samar aku
melihat motif kepala Dophan di lengan
zirah. Ini pakaian khas pemimpin Ephamus, dan tampang pemuda itu benar-benar
seperti tampangku.
“Siapa anda, Tuan?”
Suara lirih itu mengejutkanku. Aku berbalik tiba-tiba
sehingga menimbulkan suara gaduh di atas lantai kayu.
Gadis berambut merah itu telah berdiri tiga langkah dariku.
Dia memegang pelita yang membuat wajahnya terlihat merona. Tidak ada raut wajah
ketakutan di situ.
“Maaf… maafkan aku, Nona. Aku telah lancang…”
“Siapa anda, Tuan? Aku sepertinya sering memimpikan anda.”
“Namaku Endoras, aku… aku berasal dari Ephamus.”
Gadis itu mengernyitkan kening. Mungkin sedang mencari-cari
nama Ephamus di laci-laci memorinya.
“Aku senang sekali jika boleh mengetahui nama anda, Nona…”
“Panggil saja aku Bella, Tuan Endoras.”
“Nona Bella, maaf, apa anda sama sekali tidak khawatir
dengan kehadiranku di sini? Di tengah malam buta ini?”
“Tidak ada aura jahat dalam diri anda, Tuan. Aku bisa
melihatnya, dan sekali lagi aku pernah memimpikan anda. Jadi pertemuan yang
tidak biasa ini mungkin sudah diatur Dewa.”
Aku tersenyum lega.
“Apa yang membawa anda ke pondok yang sederhana ini, Tuan
Endoras? Selarut ini.”
“Lukisan-lukisan ini. Aku suka memandangnya.”
“Oh,…”
Wajah Bella menghangat,
garis-garis senyuman mulai nampak di situ. Dia beranjak mendekat lalu
menuntunku lebih dekat dengan lukisan-lukisan itu.
“Aku senang bertemu dengan pengagum seni.”
“Ya. Walaupun ini sebagian besar adalah lukisan langit dan
segala hiasannya, aku melihat emosi yang kuat dari setiap lukisan. Bahagia,
sedih, amarah… Seperti lukisan ini,” aku menunjuk lukisan yang berdiri
tersandar di dinding dekat jendela. Bella mendekatkan pelitanya. Lukisan itu
adalah lukisan awan kelabu dengan garis-garis halilintar yang tegas. Langit
sedang marah saat itu, aku seperti sangat familiar dengan pemandangan ini. “…ada
kesedihan yang dalam dan amarah yang kuat sekaligus.”
Bella mendekat dan menyentuhkan telunjuknya di atas salah
satu sisi lukisan.
“Benar… langit seperti sedang marah saat itu. Lukisan ini
aku buat sekitar dua tahun yang lalu.”
Ah, benar saja. Pasti
ini dibuat Bella pada saat ayah pergi untuk selama-lamanya.
“Tidak salah lagi. Ini lukisanku..,” gumamku.
“Maaf, Tuan…”
“Aku juga seorang pelukis, Nona Bella. Tapi aku melukis
dengan awan, purnama, hujan dan halilintar dengan langit sebagai kanvasnya.”
“Anda seorang pelukis langit, Tuan? Jadi mitos itu benar
adanya?”
Terlihat binar-binar bintang dalam mata Bella. Dia
benar-benar bergairah, tanpa ragu sedikitpun. Rasanya belum pernah aku melihat
manusia bumi yang hatinya setulus ini. Aku pun mengangguk mantap.
“…dan Ephamus itu adalah kota di atas awan?”
“Ya, Nona Bella.”
Bella nampak sangat gembira. Mungkin satu-satunya penghalang
dia tidak segera melompat dan memelukku adalah aku dan dirinya baru bertemu
sekali ini.
“Tuan Endoras, jangan bilang kalau keindahan langit yang aku
pindahkan ke atas kanvas ini adalah lukisan-lukisan anda juga!”
Aku tersenyum, “Sayangnya, sebagian besar seperti itu,
Nona.”
Senyuman Bella sedikit surut.
“Ayolah, semua seniman sejatinya adalah peniru seniman yang
lain, bukan?”
Bella setuju.
**
Menit-menit berikutnya berlalu tanpa terasa. Aku menunjuk
beberapa lukisan Bella yang terinspirasi dari lukisan langitku. Dia bercerita
tentang perasaan yang dititipkannya pada setiap lukisan, dan aku pun bercerita
tentang perasaan yang kutitip pada langit saat itu. Kami tertawa, bersedih,
marah dan tersenyum saat mengulas kisah di balik lukisan-lukisan itu.
“Bella, bersediakah kamu mengunjungi rumahku di Ephamus?”
Bella menatap tak percaya. Ada seribu jawaban iya dari cahaya
matanya. Tapi dia terlihat ragu.
“Ada apa, Bella?”
“Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendirian di sini.”
“Ibu?”
“Ya. Aku harus merawat ibu yang menderita lumpuh sejak ayah
meninggal hampir sepuluh tahun
yang lalu.”
Mengapa aku tidak tahu
persoalan Bella yang satu ini?
“Kamu tinggal bersama ibumu di sini?”
“Ya, Tuan. Dia tidur di kamar bawah.”
“Bukankah keributan kita pasti telah mengganggu tidur
nyenyaknya?”
Bella menggeleng sedih. “Dia tuli sejak lahir, Tuan. Jadi…
bagaimana mungkin aku… aku meninggalkannya.”
Aku menggenggam tangan Bella.
“Kalau tuli sejak lahir mungkin sedikit sulit. Tapi penyakit
lumpuh, aku tahu cara membuat ramuan yang bisa menyembuhkannya. Kita hanya
perlu beberapa tanaman obat, hanya entah bagaimana kalian di bumi memberi nama
tanaman-tanaman ini.”
“Katakan saja namanya…,” pinta Bella.
Saat hendak menyebut nama salah satu tanaman, terdengar
suara guntur yang memekakkan telinga.
“ENDORRAAASSS…!! WAKTUNYA HAMPIR
TIBAAA….!!”
Suara menggelegar itu terdengar
memenuhi langit. Itu suara ibuku. Dia rupanya sudah mengetahui keberadaanku di
tempat ini.
Bella terheran-heran.
“Apa yang terjadi? Mengapa kamu
nampak kebingungan?”
Bella sepertinya tidak bisa
mendengar suara langit itu.
“Aku harus segera pergi, Bella.
Aku akan kembali besok malam. Aku harus pergi…”
“Mengapa? Bagaimana dengan ibuku?”
“Dia akan baik-baik saja, aku
janji.”
Lalu tanpa memerdulikan reaksi
Bella lagi, aku segera berlari ke arah balkon dan melompat beberapa kali sampai
tiba di punggung Dophan tungganganku yang sudah siap sedia di atas atap rumah.
“Ayoo….!!”
Aku pun memacu merpati raksasa itu
terbang secepat mungkin ke arah langit.
Tapi sepertinya terlambat….
Secercah cahaya fajar muncul di
ufuk timur. Kegelapan malam segera akan berganti dengan pagi. Suara ibuku
kembali terdengar memenuhi langit. Dia memanggil namaku dengan suara pilu.
Dophan tungganganku terus saja
terbang, sementara tubuhku melayang dengan deras ke arah bumi. Pada setiap
helaan napasku, aku merasa semakin dekat dengan kefanaan.
**
Dua tahun kemudian
Aku membuka kedua mataku dan
membiarkan hidungku menghirup udara lembah sepuasnya.
Saat ini aku dan Bella sedang
melepaskan lelah setelah seharian mengurus ladang dengan berbaring menghadap
langit beralas rerumputan. Di bawah sana, dengan cekatan ibu memetik
bulir-bulir anggur yang siap dipanen. Dia menolak saat kami memintanya untuk
istirahat. Katanya terus bekerja selagi mampu adalah caranya mensyukuri
kesembuhan dari penyakit lumpuh yang pernah dideritanya.
Sementara itu, Ninoy putra pertama
kami tertatih-tatih mengejar seekor anak kelinci dengan tawa gembira.
“Hei…,”
Bella menyahut.
“Itu pasti lukisan Ergos, sepupuku.
Dia senang membuat awan-awan berbentuk jari jemari,” aku menunjuk barisan awan
di sebelah sana.
Bella tersenyum lalu meletakkan
tangannya di dadaku. Pada awalnya dia memang selalu berpikir aku masih
merindukan Ephamus. Tapi seiring waktu dia sadar sudah takdirku dan sudah
takdir kami untuk hidup bersama di bumi ini.
Biarlah Ephamus menganggap aku
seorang pengkhianat yang menyedihkan. Aku merasa benar-benar bahagia di bawah
sini. Bertemu cinta sejati dan membangun keluarga yang baru . Mengurus
pertanian kecil untuk penghidupan kami, memindahkan keindahan alam ke atas
kanvas dan merangkai mimpi-mimpi masa depan kami.
Siapa bilang kefanaan itu
menyedihkan?
---tamat---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari http://kabarmakkah.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Mengecup Keabadian
Komentar