Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
April hampir tiba. April tidak terlalu suka dengan bulan yang menyerupai namanya itu, bahkan cenderung bersedih karenanya. Dia memang akan merayakan ulang tahun pada bulan itu, sesuatu yang mestinya disyukurinya, tapi sekaligus dia harus mengenang kematian saudari kembarnya yang hanya hidup selama beberapa menit, sebelum maut menjemputnya.
April menyisir rambut kuning emasnya lalu mengepangnya
menjadi dua. Simetris dan sempurna memantulkan cahaya matahari senja dari luar
jendela.
Kalender meja di samping monitor komputernya memamerkan
angka 29.
Satu minggu lagi hari
besar itu tiba, batinnya.
April lalu mengambil sehelai kertas lalu memenuhinya dengan
rangkaian kata. Sepuluh menit kemudian, kertas yang telah menjadi surat itu
diletakkan di atas lilin yang menyala terang. Rosa membiarkan api melalap
seluruh surat itu, menyulapnya jadi serpihan-serpihan karbon dan abu.
Pintu kamar terbuka dan wajah ceria Mama muncul. Wanita yang
tangkas itu melangkah ringan sambil membawa nampan berisi coklat panas dan sepiring
biskuit.
“PR kamu sudah selesai, Sayang?” tanyanya. Tapi ekspresinya
berubah begitu meletakkan gelas yang masih mengepul itu ke atas meja. “Ada apa
ini?”
April buru-buru memadamkan lilin dan membersihkan serpihan
yang mengotori meja belajarnya.
“Aku mengirim surat untuk Amber, Ma…”
Ibu terkejut. Tapi hanya sesaat lalu memeluk kepala putri
kesayangannya itu,
“Sayang, kamu masih suka menulis surat untuk saudarimu di
surga ya? Sudahlah, sudah mama bilang bukan kamu bisa berdoa bersamanya. Memang
dia sudah dipanggil Tuhan selamanya, tapi dia masih selalu ada di sini, bukan?”
Mama menunjuk dada April. April menyahut dengan anggukan dan
senyuman.
“Yah, baiklah, Sayang. Mama tinggal ya, lanjutkan lagi belajarnya…”
Setelah mengelus kepala putrinya, Mama keluar dan menutup
kembali pintu kamar April.
Mengejutkan!
Di belakang pintu ternyata ada gadis mungil yang lain yang
sedang bersembunyi, begitu mirip dengan April.
“Amber?!” April menatap tak percaya. “Cepat sekali…”
“Aku langsung kemari begitu menerima suratmu, April…”
April berlari girang untuk memeluk kembarannya itu. Tapi
Amber meletakkan telunjuk di depan bibirnya sebagai isyarat bagi April untuk menghentikan
keinginannya.
“Kita bisa saling melepas rindu sepuasnya nanti. Sekarang…
apa kamu sudah siap?”
“Kelihatannya bagaimana?”
April memamerkan kepangan rambut dan senyum manisnya.
“Kamu cantik sekali,” sahut Amber sambil tersenyum. “Jadi
kita bisa pergi sekarang?”
April mengangguk, lalu mengambil sebuah tas yang terlihat penuh
dari balik lemarinya. “Boneka-boneka, peralatan gambar dan beberapa kaleng
minuman soda…” ucapnya lagi menjawab kerutan di kening Amber.
Kini kerutan itu menghilang terganti senyuman kembali. “Sempurna,”
sahutnya.
Mereka berdua pun bergandengan tangan.
Di tepi balkon, Amber menatap sekali lagi mata saudarinya.
“Masih ingat apa kata nenek peri?” tanyanya.
“Tentu saja. Kita akan berpisah selamanya jika aku merayakan
ulang tahun yang kesepuluh di sini…”
Amber mengangguk puas. Setelah itu mereka berdua melompati
pembatas balkon itu.
---
Keesokan harinya, headline
koran setempat diisi berita tentang seorang gadis mungil yang meninggal setelah
jatuh secara misterius dari lantai 10 apartemennya. Kedua orang tua yang sedang
berduka berat belum bisa memberi informasi tambahan kepada media.
Muncul desas desus
dari orang-orang yang menghubungkan kematian itu dengan hal-hal mistis.
Kabarnya, beberapa orang tetangga kerap melihat gadis yang mirip April muncul
dan menghilang begitu saja di sekitar apartemen mereka. Ironisnya peristiwa
maut ini terjadi tepat satu minggu sebelum ulang tahunnya yang kesepuluh.
***
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari http://canvas24.wordpress.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Pengelana Malam
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari http://canvas24.wordpress.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Pengelana Malam
Komentar