Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Untuk mengusir burung-burung usil yang suka mengincar bulir
padi, bapak membuat orang-orangan sawah. Sederhana saja bentuknya. Dua bilah
bambu diikat serupa logo palang merah, lalu dipancangkan di atas bambu lainnya.
Kepala orang-orangan sawah itu menggunakan batok kelapa tua. Sentuhan terakhir,
menambahkan caping, baju lusuh dan tali-temali yang diikat ke pondok di tengah
areal sawah.
Tingginya serupa dengan bapak, dua kali lipat tinggiku. Tapi aku senang melihatnya. Saban pulang
sekolah aku bertugas mengusir burung-burung dengan cara menarik tali yang
tersambung ke orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah itu menari seperti
ondel-ondel dan burung-burung usil yang sempat singgah pun beterbangan
ketakutan.
Pada suatu malam, aku sakit demam. Bapak membelikan obat di paman
mantri, dan emak bertugas membolak-balik kain basah di atas keningku. Kata
bapak sebelum tidur, demamku mulai turun.
Entah mengapa aku terbangun di tengah malam. Emak sudah
terlelap di sampingku. Mungkin lelah karena seharian tadi membantu masak di
hajatan kepala Dusun. Bapak juga. Aku merasa nyaris seluruh bajuku basah oleh
keringat. Aku juga haus berat. Saat hendak mengambil air dari kendi di atas
meja, aku terkejut setengah mati.
Orang-orangan sawah itu sedang duduk menatapku dari atas
kursi yang biasa ditempati emak saat menambal seragam sekolahku.
“Kamu sudah baikan, Tole?” tanyanya ramah. Suaranya mirip
suara bapak, hanya lebih berat dan serak.
Aku bertambah kaget, nyaris berteriak kencang sebelum dia
bertutur lagi.
“Jangan takut,” dia menurunkan volume suaranya. “Kita
berteman, bukan? Setiap hari kita bersama-sama di sawah bapak kamu.”
Aku terdiam membenarkan. “Mau apa kamu?” tanyaku dengan
suara gemetar.
Sepertinya orang-orangan sawah itu tersenyum. Entahlah,
wajahnya kurang jelas, tertutup ujung caping yang lebar.
“Justru saya yang mau bertanya begitu, Tole. Apa
permintaanmu? Sebut apa saja, akan saya penuhi.“
“Apa saja?”
Orang-orangan sawah mengangguk. “Apa saja. Tapi ada
syaratnya, kamu harus melepaskan ikatanku…”
Aku mengernyitkan kening. “Lah, ini kamu sudah bebas
kemana-mana…!”
“Ini hanya dalam mimpi kamu saja, Tole. Aku yang sebenarnya
masih ada di sana, di sawah bapak kamu.”
“Oh, mimpi...”
“Ayuk sebut apa permintaanmu?”
Aku terdiam sejenak. Membayangkan handphone berlayar gede seperti milik Erik atau Bayu.
“Mau tablet seperti punya teman kamu?”
Nah, persis, itu dia namanya. Kok dia bisa tahu?
Keheninganku mengiyakan pertanyaannya. “Gampang itu. Tidak
lama lagi kamu akan punya tablet.
Tapi… besok kamu harus menolongku, ya?”
Aku mengangguk, tapi masih diliputi ketidakmengertian.
---
Dua hari kemudian orang-orangan sawah bapak “hilang” . Ini membuat
burung-burung usil berpesta dengan leluasa. Aku kewalahan mengusir mereka.
Pasti banyak bulir padi yang berhasil mereka embat. Mau memanggil bapak atau
emak juga enggan karena areal sawah dan rumah masih agak jauh.
Menjelang senja saat burung-burung usil mulai kembali ke
rumah masing-masing, aku merasa agak lega. Aku pun segera pulang dan melaporkan
kejadian itu pada bapak dan emak. Mereka heran, karena tidak biasanya ada orang
yang iseng membawa lari orang-orangan sawah. Kalau anak sapi atau kambing
mungkin masih wajar.
Bapak menepuk pundakku.
“Ya sudah, besok biar bapak dulu yang jaga sawah sekalian membuat
orang-orangan sawah yang baru. Sekarang kamu makan lantas belajar ya.”
Aku mengangguk.
---
Sepulang sekolah aku tidak mendapati bapak di rumah.
“Bapak sudah ke sawah sejak pagi,” kata emak sambil
menyiapkan makan siang.
Tak lama kemudian, di depan rumah pak tukang pos menghentikan
motornya yang penuh dengan barang-barang kiriman. Setelah memarkirkan motornya,
dia mengetuk pintu rumah.
“Tole Suhardianto?”
“Iya, itu anak kami, pak,” emak menyahut sembari menyambut
pak pos. Kelihatannya emak bingung.
Di tangan pak pos ada paket yang dibungkus dengan kemasan
khusus. Dalam sekejab paket tersebut berpindah ke tangan emak. Sayang sekali,
aku maupun emak tidak mengenal si pengirim paket.
Setelah pak pos pamit dan suara motornya terdengar menjauh,
kami pun membuka kemasan paket tersebut.
“Woalah, siapa
yang ngirim handphone ini buat kamu,
Nak?” tanya emak kaget melihat isi paket tersebut.
“Ini bukan handphone, Mak. Ini namanya tablet,
“ sahutku tidak kalah terkejutnya.
Yang membuat lebih terkejut lagi,
ada sebuah kertas ucapan dengan tulisan tangan yang indah. tulisannya seperti
ini.
Terima kasih, Tole.
Salam,
Si Raja Burung.
---
ilustrasi gambar http://www.matadunia.net
Baca Juga Cerpen Keren lainnya:
Teleporter
Komentar