Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Orang-orangan Sawah


Untuk mengusir burung-burung usil yang suka mengincar bulir padi, bapak membuat orang-orangan sawah. Sederhana saja bentuknya. Dua bilah bambu diikat serupa logo palang merah, lalu dipancangkan di atas bambu lainnya. Kepala orang-orangan sawah itu menggunakan batok kelapa tua. Sentuhan terakhir, menambahkan caping, baju lusuh dan tali-temali yang diikat ke pondok di tengah areal sawah.

Tingginya serupa dengan bapak, dua kali lipat tinggiku.  Tapi aku senang melihatnya. Saban pulang sekolah aku bertugas mengusir burung-burung dengan cara menarik tali yang tersambung ke orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah itu menari seperti ondel-ondel dan burung-burung usil yang sempat singgah pun beterbangan ketakutan.

Pada suatu malam, aku sakit demam. Bapak membelikan obat di paman mantri, dan emak bertugas membolak-balik kain basah di atas keningku. Kata bapak sebelum tidur, demamku mulai turun.
Entah mengapa aku terbangun di tengah malam. Emak sudah terlelap di sampingku. Mungkin lelah karena seharian tadi membantu masak di hajatan kepala Dusun. Bapak juga. Aku merasa nyaris seluruh bajuku basah oleh keringat. Aku juga haus berat. Saat hendak mengambil air dari kendi di atas meja, aku terkejut setengah mati.

Orang-orangan sawah itu sedang duduk menatapku dari atas kursi yang biasa ditempati emak saat menambal seragam sekolahku.

“Kamu sudah baikan, Tole?” tanyanya ramah. Suaranya mirip suara bapak, hanya lebih berat dan serak.

Aku bertambah kaget, nyaris berteriak kencang sebelum dia bertutur lagi.

“Jangan takut,” dia menurunkan volume suaranya. “Kita berteman, bukan? Setiap hari kita bersama-sama di sawah bapak kamu.”

Aku terdiam membenarkan. “Mau apa kamu?” tanyaku dengan suara gemetar.
Sepertinya orang-orangan sawah itu tersenyum. Entahlah, wajahnya kurang jelas, tertutup ujung caping yang lebar.

“Justru saya yang mau bertanya begitu, Tole. Apa permintaanmu? Sebut apa saja, akan saya penuhi.“

“Apa saja?”

Orang-orangan sawah mengangguk. “Apa saja. Tapi ada syaratnya, kamu harus melepaskan ikatanku…”

Aku mengernyitkan kening. “Lah, ini kamu sudah bebas kemana-mana…!”

“Ini hanya dalam mimpi kamu saja, Tole. Aku yang sebenarnya masih ada di sana, di sawah bapak kamu.”

“Oh, mimpi...”

“Ayuk sebut apa permintaanmu?”

Aku terdiam sejenak. Membayangkan handphone berlayar gede seperti milik Erik atau Bayu.

“Mau tablet seperti punya teman kamu?”

Nah, persis, itu dia namanya. Kok dia bisa tahu?

Keheninganku mengiyakan pertanyaannya. “Gampang itu. Tidak lama lagi kamu akan punya tablet
Tapi… besok kamu harus menolongku, ya?”

Aku mengangguk, tapi masih diliputi ketidakmengertian.

 ---
Dua hari kemudian orang-orangan sawah bapak “hilang” . Ini membuat burung-burung usil berpesta dengan leluasa. Aku kewalahan mengusir mereka. Pasti banyak bulir padi yang berhasil mereka embat. Mau memanggil bapak atau emak juga enggan karena areal sawah dan rumah masih agak jauh.

Menjelang senja saat burung-burung usil mulai kembali ke rumah masing-masing, aku merasa agak lega. Aku pun segera pulang dan melaporkan kejadian itu pada bapak dan emak. Mereka heran, karena tidak biasanya ada orang yang iseng membawa lari orang-orangan sawah. Kalau anak sapi atau kambing mungkin masih wajar.

Bapak menepuk pundakku.

“Ya sudah, besok biar bapak dulu yang jaga sawah sekalian membuat orang-orangan sawah yang baru. Sekarang kamu makan lantas belajar ya.”

Aku mengangguk.

 ---
Sepulang sekolah aku tidak mendapati bapak di rumah.

“Bapak sudah ke sawah sejak pagi,” kata emak sambil menyiapkan makan siang.

Tak lama kemudian, di depan rumah pak tukang pos menghentikan motornya yang penuh dengan barang-barang kiriman. Setelah memarkirkan motornya, dia mengetuk pintu rumah.

“Tole Suhardianto?”

“Iya, itu anak kami, pak,” emak menyahut sembari menyambut pak pos. Kelihatannya emak bingung.

Di tangan pak pos ada paket yang dibungkus dengan kemasan khusus. Dalam sekejab paket tersebut berpindah ke tangan emak. Sayang sekali, aku maupun emak tidak mengenal si pengirim paket.
Setelah pak pos pamit dan suara motornya terdengar menjauh, kami pun membuka kemasan paket tersebut.

Woalah, siapa yang ngirim handphone ini buat kamu, Nak?” tanya emak kaget melihat isi paket tersebut.

“Ini bukan handphone, Mak. Ini namanya tablet, “ sahutku tidak kalah terkejutnya.

Yang membuat lebih terkejut lagi, ada sebuah kertas ucapan dengan tulisan tangan yang indah. tulisannya seperti ini.

Terima kasih, Tole.
Salam,

Si Raja Burung.

---


pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar http://www.matadunia.net


Baca Juga Cerpen Keren lainnya:
Teleporter

Komentar