Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Pak Pulisi



Hujan sudah berhenti, Sayangku. Artinya sudah waktunya aku mengantarmu pulang. Kalau kemalaman, aku takut besok-besok tidak dikasih izin lagi sama Pak Pulisi. Begitu kadang aku memanggil bapakmu.  Kamu pun mengangguk sambil tersenyum. Kamu tahu aku tidak bermaksud sedikitpun menjelek-jelekan dia walau kadang dia suka kepo dan kalau frekuensi kunjunganku lebih sering, dia suka memberlakukan jam malam. Ya, bagaimanapun juga kalau jodoh bapak kamu akan menjadi calon mertuaku, bukan?



Di atas skuter matic yang garang menembus jalan-jalan kota, kamu merapatkan tubuh ke punggungku. Ah, kita memang sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Rembulan pun serasa menurunkan tirai tak kasat mata untuk mengenyahkan hawa dingin yang diembuskan malam ini.
Sesampai di rumahmu, waktu menunjukan pukul 21.45. Tidak terlalu malam. Pak pul… eh, bapak kamu pun terlihat sedang serius di teras rumah. Di hadapannya ada papan catur dan Bang Jek, tetangga sebelah rumah. Sepertinya bapak kamu menemukan lawan sepadan dalam tanding catur ini.
Setelah memberi salam, aku duduk di sisi meja pertandingan sembari meletakkan sekotak martabak yang langsung menebar aroma menggoda.

“Tidak kehujanan kalian?” tanya bapak kamu.

“Tidak, Om,” sahutku.

“Ini buat dimakan, kan?” sambung Bang Jek. Tangannya bergerak lincah membuka kotak dan mencomot satu potong martabak.

“Iya, Bang.”

Sepi sesaat, karena pikiran dua bapak-bapak di hadapanku kembali tertuju pada biji-biji catur, juga karena mulut mereka sibuk mengunyah potongan-potongan martabak.
Saat hendak pamit, kamu keluar dari rumah dengan pakaian yang lebih santai, T-shirt dan celana jeans pendek.

“Bapak, tadi di jalan aku singgah isi pulsa ke nomor bapak,” katamu.

“Iya, makasih, ya,” bapak kamu menyahut tanpa menoleh.

“Dicek dulu, pulsanya sudah masuk apa belum?” sahutmu.

Bapak kamu pun merogoh saku celana dan sedikit terkejut, karena HP-nya tidak ada disitu. Pandangannya lalu diedarkan ke kursi kosong di samping kirinya, meja catur bahkan ke lantai.

“Loh, HP dimana ya? Tadi perasaan ada di sekitar sini. Coba tolong ditelepon dulu,”

“Yaa, HP di dalam…”

“Ini pakai HP aku saja,” aku bergegas mengeluarkan HP dari saku baju lalu menyodorkannya kepadamu.

Kamu menyapu layar HP beberapa kali dengan telunjuk lalu bertanya, “Nomor bapak ada nggak?”

Aku mengangguk

“Disimpan pakai nama apa?”

Detik berikutnya, terjadilah bencana yang tak terduga-duga karena jawaban refleks itu meluncur begitu saja dari antara bibirku. “…pak pulisi…”

Baru kali ini aku melihat mata kamu bisa melotot sebesar itu, tapi sepertinya mata melotot bapak kamu lebih besar lagi.

---

ilustrasi gambar dari https://www.wikihow.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Saksi Tidak Lihat




Komentar