Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kondom di Hari Valentine



Valentine kali ini terasa getir, entah mengapa.
Tapi siapa pun tetap bisa merayakannya. Tak terkecuali bagi tujuh orang muda itu. Mereka begitu belia dan penuh cinta, nampak dari sorot matanya. Mereka sedang berkumpul di salah satu sudut ruang sekretariat BEM sambil saling membagikan oleh-oleh khas valentine, cokelat batangan, mawar dan kartu ucapan.
Sandy, yang paling senior, juga mengeluarkan hadiahnya, enam buah kondom aneka rupa dan warna.
Variasi kondom itu disesuaikan dengan kesenangan kawan-kawannya. Kondom berbentuk kupu-kupu untuk Andin yang gemar berpetualang di alam bebas, kondom aroma lavender berwarna ungu cerah untuk Mayang penyuka lavender, kondom berbentuk kotak suara untuk Phil yang senang membicarakan politik, kondom berbentuk handphone untuk Bagas yang menekuni dunia aplikasi android, kondom berbentuk lensa kamera untuk Jose yang suka fotografi dan kondom berbentuk sandwich untuk Boby yang hobi makan. Sempurna!

Maka semua menerima hadiah kondom itu dengan senang hati, kecuali Boby yang paling junior di antara mereka. Boby memandang lekat-lekat kondom pemberian Sandy di antara jari-jarinya yang gemuk.

“Ini untuk apa, Kak?” tanyanya terheran-heran.

Sandy yang disodori pertanyaan itu sama herannya. “Menurut kamu, kondom itu buat apa?” dia bertanya balik lalu menggeleng.

Boby terdiam.

Mereka tahu acara kumpul-kumpul itu sebentar lagi berakhir saat Sandy berdiri dan memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ransel.

“Kita ketemu lagi nanti malam di pos hijau ya. Happy Valentine, kawan-kawan. Have fun!”
Tak lama kemudian mereka membubarkan diri.

---

Enam jam kemudian, malam telah merajai langit. Mereka kembali berkumpul di tempat yang mereka namakan pos hijau. Ternyata tempat itu adalah sebuah pondok kayu dengan luas tak lebih dari sembilan meter persegi di tengah-tengah hutan buatan di sebelah barat kampus. Gelap gulita menyelimuti tempat itu. Satu-satunya penerangan berasal dari cahaya api unggun yang mereka buat di depan pondok. Orang-orang muda itu duduk mengitari api unggun dan bernyanyi lepas diiringi petikan gitar di tangan Sandy. Asap api unggun menyengat penciuman, tetapi mereka tetap bernyanyi gembira.

Rupanya mereka belum lengkap benar. Dari kejauhan terlihat Boby berlari mendekat terengah-engah menyeret tubuh tambunnya. Setelah sampai di depan api unggun, Boby duduk disamping Mayang sembari menetralkan irama napasnya. Yang lain tersenyum geli melihat tingkah adik angkatan mereka itu.

“Darimana saja kamu?” tanya Jose.

“Maaf, Kak. Jalanan tadi macet banget.”

“Iyalah. Orang-orang kan merayakan hari kasih sayang,” sambung Phil.

Sandy berdiri, meletakkan gitarnya dan mendekati Boby.

“Nah, mana kondom kamu?”

Boby terkejut.

“Kondom?”

“Iya!”

“Kamu sudah mengisi kondom itu dengan tumbal kebencian, bukan?” sambung Andin.

Tumbal kebencian? Istilah apa lagi itu?” sahut Boby setengah berteriak.

Keenam kawannya saling berpandangan dengan bingung.

“Kamu benar-benar tidak tahu tradisi perkumpulan kita setiap valentine?” tanya Sandy menurunkan volume suara karena menahan amarah.

Boby menggeleng takut.

Andin ikut berdiri, lalu menghamburkan kata-kata ini “Boby, tumbal kebencian adalah kertas berisi daftar nama orang-orang yang kita benci bersama alasan kita membenci orang-orang itu. Tumbal kebencian akan dimasukkan ke dalam kondom yang tadi dibagikan lalu… kita membakarnya bersama-sama.”

“Maaf, kawan-kawan. Saya benar-benar tidak tahu tradisi itu, saya—“

“Ya sudah, kalau begitu kembalikan kondomnya,” todong Sandy lagi.

Boby nampak semakin takut. “Kondom itu… tidak mungkin, Kak. Tadi saya sudah memakainya.”

“Untuk apa?” cecar Sandy.

“Tentu saja bercinta dengan pacar saya. Maaf, Kak, saya—“

Boby tidak berani lagi melanjutkan kata-katanya melihat raut Sandy yang benar-benar merah karena amarah.
---
Boby berteriak-teriak minta maaf dan meronta sebisanya, tapi percuma. Suaranya dibekap senyapnya malam dan kekuatan enam orang kawannya jauh lebih besar. Teriakan itu pun berubah jadi lolong memilukan saat api unggun yang membesar melahap seluruh tubuhnya tanpa ampun.


Valentine kali ini terasa getir, entah mengapa. Tapi siapa pun tetap bisa merayakannya.



***

ilustrasi gambar dari thecut.com/


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Cermin St. Claire







Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Waduuuh... Ending-nya tragiiisss... 😫
pical gadi mengatakan…
Iya bu Lis. Saya saja ngeri :)