Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Nasi Campur



Gema seruan-seruan calo taksi bandara yang jadi lagu penyambut penumpang sudah berlalu. Kini aku telah bernapas lega dan sudah berada di sisi timur bandara yang lebih sepi . Penerbangan sejam lebih ditambah panas terik yang menyambut kami begitu turun dari pesawat membuat perutku konser.  Aku pun berjalan menarik koperku sambil menyusuri beranda bandara.

Pandangan kuedarkan pada deretan counter di sepanjang beranda bandara. Masing-masing menempati ruang seluas kira-kira tiga kali enam sampai tiga kali delapan meter persegi, khas bandara di daerah. Ada counter pulsa, warkop, pedagang aksesoris handphone dan ah…. ada juga deretan restoran mini.


Aku berjalan mendekat. Menu yang dihidangkan setiap restoran mini tertera jelas dari balik dinding kaca, lengkap dengan rupiah di masing-masing menu. Dari beberapa, aku memilih restoran yang  paling lengkap menunya.

Cewek penjaga restoran mini berambut sebahu terkuncir mengangkat pandangannya dari layar HP, begitu aku masuk.Dia menyapa ramah. Di dalam situ ada tiga meja bundar kecil dikelilingi beberapa kursi plastik yang masih kosong.

“Apa yang ada mbak?” tanyaku. Seringkali sekalipun menu yang disajikan bejibun, yang ready to serve hanya beberapa menu saja. Makanya lebih baik langsung tanya stok-nya, secara sudah lapar tingkat mahadewa juga.

“Itu menunya pak, silahkan dipilih..,” sahut cewek itu, sambil mengarahkan tangannya pada whiteboard kecil yang dipajang disudut ruangan.

“Oh, menunya lengkap sepertinya,” batinku, lalu mencari-cari makanan apa yang kira-kira masuk ke perut siang ini. “Kwetiau kuah ada mbak?”

“Wah, kwetiaunya kosong, pak.”

“Mm…. gado-gado?”

“Gado-gado habis, pak.”

“Bakso deh kalau gitu…,” menu yang satu ini biasa selalu ada.

“Maaf pak, hari ini kami sedia bakso…”

Tekanan darah terasa mulai naik ke kepala. Cewek ini seperti sedang menguji kesabaran. Aku menyebut satu menu lagi, yang paling mudah, kalau tidak ada juga sepertinya aku harus cabut dari restoran itu.

“Nasi campur?”

“Iya, ada pak.”

“Oke, saya pesan itu saja. Selain nasi campur ada yang lain lagi gak?”

Cewek itu berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan.

“Banyak yang habis pak….,”

Aku hampir pingsan jadinya.

“Ya udah, nasi campur satu. Tidak pakai lama, ya…”

Cewek itu pun mengangguk lalu segera menyibukkan diri di dapur tempat meracik pesanan pelanggan. Aku jadi geleng-geleng kepala sendiri, meredakan kesal. Mestinya dari tadi dia langsung menjawab pertanyaanku yang pertama, biar tidak muter-muter obrolannya. Mungkin memang sudah kebiasaan kita orang Indonesia. Yang mestinya bisa ringkas dan simple, dibikin jadi panjang dan ribet. Tapi ya sudahlah, untung juga ceweknya bening, jadi kesal di hati cepat juga redanya. 


---

ilustrasi gambar dari https://id.wikipedia.org/
pertama kali ditayangkan di kompasiana

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Musim Hujan Kali Ini









Komentar

Hhahaaaa, mbaknya ngeselin banget :))
pical gadi mengatakan…
Hahaha...
banget!!