Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kita Terluka Lagi



Oleh sembilu di ujung malam
kita teteskan darah dan air mata
terluka lagi
tanpa tahu kapan pulih.

Kita hunuskan pedang
tapi dengan gelap di ujung mata
kita tidak benar-benar tahu
sedang memenangkan atau terkalahkan perang.
Apakah sekeping anti-klimaks drama berdarah
telah dapat jadi penawar perih luka?
Apakah tangisan bayi sang syuhada
sudah bisa merobek malam lelap kita?

Atau kembali terbenam dalam beku apatis
setelah kita mengubur lima bunga yang gugur?

Tidak!
Kita belum siap menang perang
jika rakyat masih saling sikat di jalan raya
dan tokoh masih saling cemooh di linimasa.

Kita tidak boleh berhenti bergerak
mencari kesadaran
sebab jika hanya bergeming di balik kebesaran nama bangsa
kita hanya menunggu ujung malam yang lain
menunggu sembilu yang lain
teteskan darah dan air mata lagi
kita terluka lagi.

Saat terbangun
luka kita telah begitu parah
dan kita saksikan berguguran segala
dalam gelap tanpa akhir
dalam perih tanpa ujung
sembari menutup lembar terakhir
sebuah buku sejarah.
ilustrasi gambar dari www.pinterest.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Daruman







Komentar