Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Setan dan Malaikat di Dalam Kepala




Ada setan dan malaikat di dalam kepalaku. Mereka sedang bermain kartu domino. Seru sekali nampaknya. Yang kalah harus menjepitkan penjepit jemuran ke daun telinganya. Permainan sudah berlangsung belasan seri dan penjepit jemuran berpindah-pindah telinga. Kadang jika salah satunya mengalami kekalahan berturut-turut, berbarislah penjepit jemuran di telinganya.
Aku mengamati permainan sambil tersenyum-senyum sendiri, sampai Tuhan masuk dan mengingatkan keduanya tentang waktu.
"Ayo pulang, sudah larut malam!" perintah Tuhan.
Dengan berat hati keduanya pun membereskan kartu-kartu domino, mengeluarkan jepitan jemuran dari telinga dan merapikan kursi yang mereka duduki. Malaikat melambai kepada Setan lalu keluar lewat pintu ruangan. Aku terkejut.
Setan? Mengapa setan yang jadi penghuni kepalaku?
Saat itu Tuhan juga hendak keluar, jadi aku buru-buru menjajari langkahnya dan bertanya, "Tuhan, mengapa Engkau menyuruh Malaikat keluar, bukan Setan itu?"
Tuhan berhenti dan memandangiku dengan teduh.
"Nak, sebenarnya Aku tidak menyuruhnya. Kamulah yang menginginkan Setan menjadi penghuni rumah ini, sehingga Malaikat merasa di sini tempat asing."
Aku terenyak.
"Kamulah yang bisa membuat Setan itu pergi."
"Caranya bagaimana, Tuhan?" tanyaku, lalu sepersekian detik kemudian aku menyadari betapa bodohnya pertanyaanku.
"Caranya dengan mencoba," sahut Tuhan.
Aku pun lalu berbalik dan memandang ke arah Setan yang kini berpindah tempat duduk ke atas sofa. Posisinya setengah berbaring dengan satu kakinya diangkat ke atas kaki yang lain.
Aku pun meminta setan untuk segera pergi. Tapi setan menolak.
"Aku langsung merasa betah di tempat ini. Aku suka suasananya," sahutnya cuek.
Aku melirik Tuhan. Dia berucap pelan, "...terus mencoba."
Sebuah ide tiba-tiba terpikirkan. Aku tahu, makhluk bertelinga runcing itu suka bermain domino. Aku juga... dan belum pernah ada yang mengalahkanku dalam permainan itu. Aku pun mengajaknya bermain domino kembali dengan satu syarat. Jika Setan menang dia boleh tinggal tapi jika aku yang menang dia harus segera pergi.
"Setuju!" Setan tersenyum senang. "Aku suka permainan yang menantang ini. Tadi main sama Malaikat seperti bermain dengan anak kecil saja."
Kami kembali mengeluarkan kursi-kursi dan memulai permainan. Tiba-tiba aku merasa sedikit gentar. Bagaimana kalau Setan menang?Tapi, ah, aku segera membuang kekhawatiran itu jauh-jauh.
Seiring kartu-kartu domino yang mulai terangkai di atas meja aku semakin bersemangat. Sementara Setan mulai kehilangan senyumannya. Di akhir permainan aku berhasil mengunci dua kartu miliknya. Aku menang!
"Sesuai kesepakatan, kamu harus pergi sekarang," ucapku girang.
Setan berdiri tanpa ekspresi. Lalu berjalan ke arah sofa dan merebahkan dirinya di situ. "Kamu tahu, aku kan setan. Mana ada sihsetan yang mematuhi kesepakatan!" ucapnya tanpa perasaan berdosa.
Sudah kuduga. Aku pun membuang napas dengan kesal, lalu menoleh ke Tuhan. Hah? Dia sudah tidak ada lagi di situ. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan menemukannya di belakang sofa, sedang berpangku tangan sambil menggeleng-geleng marah ke arah setan yang kembali berpangku kaki. Setan tidak menyadari keberadaan Tuhan di situ.
"Maaf ya, Bro. Aku mau tidur dulu, sofamu empuk sekali," ucap Setan sambil memejamkan matanya.
Tangan kanan Tuhan pun terjulur untuk menjewer telinga Setan.
"Aduuuuuh! Sakit, sakit...," Setan terkejut dan meringis kesakitan.
"Mau pergi sekarang atau aku jewer sampai putus telinga runcingmu ini?" tanya Tuhan geram.
"Iya, ampun, Tuhan. Iya, aku pergi sekarang!"
"Ayo, berdiri!"
Adegan selanjutnya membuatku tersenyum geli. Tuhan menyeret Setan sampai ke pintu keluar, membuka pintu, membiarkan setan yang masih meringis kesakitan keluar, lalu kembali menutup pintu dari dalam.
"Kamu juga harus beristirahat," ucap-Nya lagi. Intonasi-Nya kembali teduh dan menenangkan.
"Tuhan, Malaikatnya tidak dipanggil lagi?" tanyaku kebingungan.
Tuhan tersenyum. "Malaikat untuk apa? Kamu sendiri sudah cukup. Lagi pula kamu akan selalu menemukan cara untuk memanggil malaikat pelindungmu... dan Aku. Kamu hanya perlu men... co... ba..."
Setelah itu aku ditinggalkan sendirian di dalam kepalaku. Walaupun demikian, aku tidak merasa sepi dan tidak merasa ditinggalkan. Rasanya damai sekali.
---
ilustrasi gambar dari hdwallsbox.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Daruman







Komentar