Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kolektor Lukisan




Supermoon hampir beranjak. Anabelle sangat mahir merekam penampakkan langit malam itu dengan mata birunya, lalu memindahkan semuanya ke atas kanvas, satu-satunya sahabat yang menemaninya beberapa hari ini.
Dress krem Anabelle jadi legam oleh percikan kuas. Nampak juga beberapa noda di sudut-sudut wajahnya, tapi Anabelle kelihatan tidak terlalu peduli. Pemesan lukisan itu akan segera datang.

Hempasan angin seketika memudarkan nyala beberapa lentera yang digantung, lalu hentakkan berat terdengar di beranda kayu kamar Anabelle. Sosok tinggi besar berjubah hitam, dengan sayap raksasa masuk ke dalam kamar. Anabelle gelisah. Lukisannya belum sempurna betul.
“Aku butuh beberapa waktu lagi, tuan.”
“Kamu sudah diberi banyak waktu, nona,”
Sosok tinggi besar beringsut ke depan lukisan. Menatap lekat-lekat kanvas berisi ribuan gurat biru gelap dengan bulan perak bulat sempurna di tengah-tengah kanvas, lalu mengangguk kecil beberapa kali.
“Hhm… hampir sempurna. Baiklah, nona. Aku memberi tambahan waktu. Tapi karena sedikit kecewa, aku meminta bonus satu lukisan lagi. Lukislah wajah kematian untukku. Aku bersedia menunggu sampai subuh kali ini…,”
Anabelle merasa ini pekerjaan yang sangat berat, tapi demi bayaran kepingan nyawa, dia menyanggupinya juga.  
Dengan pandangan yang sesekali mengabur karena letih, Dari balik kanvasnya, Anabelle memandangi Malaikat Maut yang gemar mengoleksi lukisan sedang duduk di atas kursi yang kekecilan dengan pongahnya. Sementara di sudut lain kamar itu, tubuh ibunya terbaring dingin di atas ranjang. Anabelle mulai letih, namun dia tetap memaksa kuasnya menari lincah di atas kanvas. 


---

gambar dari https://earthsky.org



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar