Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Supermoon hampir
beranjak. Anabelle sangat mahir merekam penampakkan langit malam itu dengan
mata birunya, lalu memindahkan semuanya ke atas kanvas, satu-satunya sahabat
yang menemaninya beberapa hari ini.
Dress krem
Anabelle jadi legam oleh percikan kuas. Nampak juga beberapa noda di
sudut-sudut wajahnya, tapi Anabelle kelihatan tidak terlalu peduli. Pemesan
lukisan itu akan segera datang.
Hempasan angin seketika memudarkan nyala beberapa lentera
yang digantung, lalu hentakkan berat terdengar di beranda kayu kamar Anabelle.
Sosok tinggi besar berjubah hitam, dengan sayap raksasa masuk ke dalam kamar.
Anabelle gelisah. Lukisannya belum sempurna betul.
“Aku butuh beberapa waktu lagi, tuan.”
“Kamu sudah diberi banyak waktu, nona,”
Sosok tinggi besar beringsut ke depan lukisan. Menatap
lekat-lekat kanvas berisi ribuan gurat biru gelap dengan bulan perak bulat
sempurna di tengah-tengah kanvas, lalu mengangguk kecil beberapa kali.
“Hhm… hampir sempurna. Baiklah, nona. Aku memberi tambahan
waktu. Tapi karena sedikit kecewa, aku meminta bonus satu lukisan lagi.
Lukislah wajah kematian untukku. Aku bersedia menunggu sampai subuh kali ini…,”
Anabelle merasa ini pekerjaan yang sangat berat, tapi demi
bayaran kepingan nyawa, dia menyanggupinya juga.
Dengan pandangan yang sesekali mengabur karena
letih, Dari balik kanvasnya, Anabelle memandangi Malaikat Maut yang gemar
mengoleksi lukisan sedang duduk di atas kursi yang kekecilan dengan pongahnya.
Sementara di sudut lain kamar itu, tubuh ibunya terbaring dingin di atas
ranjang. Anabelle mulai letih, namun dia tetap memaksa kuasnya menari lincah di
atas kanvas. ---
gambar dari https://earthsky.org
Komentar