Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Dirajah Sembilu




Seringkali tanpa disadari, saat sebuah luka disembuhkan, bagian kulit yang lain digores sembilu untuk membuka luka yang baru. Demikian seterusnya, sampai setiap jengkal kulit kita dipenuhi dengan luka dan bekas luka. Tapi seperti itulah hidup. Dengan luka, sembuh, terluka dan disembuhkan berkali-kali, kita semakin akrab dengan penderitaan sehingga lama kelamaan menganggap penderitaan adalah kawan lama yang tidak perlu ditangisi kedatangannya.

Credo itu yang terbenam dalam-dalam di benak Maya, gadis bermata sendu yang malam ini sedang bercakap-cakap dengan purnama. Berjarak empat meja di sebelah kirinya, sebuah band akuistik sedang membawakan lagu-lagu nostalgia yang manis. Vokalisnya, seorang lelaki gagah bersuara bariton sejak tadi menaruh perhatian pada Maya.
Suasana café yang berada di rooftop sebuah hotel sedang sepi pengunjung. Jadi setelah dua lagu berlalu, lelaki itu bertukar tugas dengan pemain perkusi dan dia sendiri melangkah ke meja Maya. Sesampai di sana, dia melempar salam dengan sangat sopan. Maya sedikit terkejut tapi tetap memberi ruang dengan membalas sapaannya ramah, “…kamu ini tipe lelaki yang membuat luka atau menyembuhkan luka?”
“Wah, kamu bukan saja cantik, tapi juga penuh kejutan. Panggil aku Fredy…”
Maya tersenyum lalu membalas uluran tangan Fredi, “Aku Maya. Suara kamu bagus, Fredy.”
“Tapi kamu nampak tidak tertarik, Maya.”
Maya tersenyum. Itu senyuman pertama malam ini. “Jangan menilai dari apa yang kelihatan…,” sahutnya. 
“Tentu… tentu. Begitu juga denganku. Aku bukan obat merah… apalagi sembilu,” sambung Fredy lalu duduk pada kursi di sisi Maya. “…tapi aku adalah cokelat manis yang bisa membuatmu ketagihan setengah mati.”
Maya tertawa kecil. “Aku sudah hafal kelanjutan percakapan ini, Fredy…”
Maya sesaat menoleh ke arah Purnama dengan tatapan memelas, seperti seorang bocah meminta permen kepada ibunya.
Insting Maya benar adanya. Dua jam kemudian, dia dan Fredy telah terjebak di dalam kamar hotel yang dingin dan beraroma terapi. Tapi kontras dengan suasana kamar, tubuh keduanya begitu hangat dengan kucuran keringat di sana-sini. Napas keduanya seperti napas dua orang pelari yang berlomba menuju puncak kompetisi, kejar mengejar, susul menyusul. Walaupun akhirnya pada puncak kompetisi itu tidak ada lagi pemenang dan pecundang. Keduanya adalah pemenang… atau keduanya adalah pecundang.
 ***
Malam berikutnya, di rooftop café yang berbeda, Maya kembali bercakap-cakap dengan purnama, walau nampaknya kali ini purnama lebih mendominasi pembicaraan. Sesekali malah menyeringai marah. Maya tertunduk sedih. Di sisi kanannya terhampar koran dengan berita utama seorang vokalis band ditemukan meninggal di kamar hotel karena keracunan sianida.
“Dia adalah lelaki pembuat luka. Ternyata dia telah memiliki dua orang putra dan istri, yang tentu saja kadar cintanya lebih tinggi dariku, Purnama,” keluh Maya.
Purnama terdiam. Beberapa saat lamanya keduanya larut dalam keheningan. Sampai seorang lelaki menghampiri meja Maya. Lelaki itu berbadan tegap dengan penampilan perlente.
“Mbak Miranda?”
Maya sedikit terkejut, lalu memandang lelaki itu dalam-dalam. “Kamu ini tipe lelaki yang membuat luka atau menyembuhkan luka?” tanyanya.
Lelaki itu juga terkejut tapi tetap menyahut mantap “Saya Hans dari Kepolisian.”
“Oh, baik pak Hans dari kepolisian. Miranda itu masa lalu saya. Sekarang saya lebih sering dipanggil Maya.”
“…dan masa depan kamu adalah penjara!”
Maya tersenyum lalu menoleh ke arah purnama. “Dia sepertinya adalah penyembuh luka…,” gumamnya lirih.
Tidak lama kemudian, mobil biru metalik berisi para reserse dan buruannya meninggalkan café dengan cepat. Di kursi belakang, Maya perlahan-lahan memejamkan mata. Dia merasa beban berat yang dipikulnya perlahan-lahan menghilang. Luka-luka yang dideritanya, perlahan-lahan pulih.



---

pertama kali ditayangkan di kanal fiksi kompasiana
sumber gambar: dnainfo.com

Komentar