Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Seringkali tanpa disadari, saat
sebuah luka disembuhkan, bagian kulit yang lain digores sembilu untuk membuka
luka yang baru. Demikian seterusnya, sampai setiap jengkal kulit kita dipenuhi
dengan luka dan bekas luka. Tapi seperti itulah hidup. Dengan luka, sembuh,
terluka dan disembuhkan berkali-kali, kita semakin akrab dengan penderitaan
sehingga lama kelamaan menganggap penderitaan adalah kawan lama yang tidak
perlu ditangisi kedatangannya.
Credo
itu yang terbenam dalam-dalam di benak Maya, gadis bermata sendu yang malam ini
sedang bercakap-cakap dengan purnama. Berjarak empat meja di sebelah kirinya,
sebuah band akuistik sedang
membawakan lagu-lagu nostalgia yang manis. Vokalisnya, seorang lelaki gagah
bersuara bariton sejak tadi menaruh perhatian pada Maya.
Suasana café yang berada di rooftop sebuah hotel sedang sepi
pengunjung. Jadi setelah dua lagu berlalu, lelaki itu bertukar tugas dengan
pemain perkusi dan dia sendiri melangkah ke meja Maya. Sesampai di sana, dia melempar
salam dengan sangat sopan. Maya sedikit terkejut tapi tetap memberi ruang
dengan membalas sapaannya ramah, “…kamu ini tipe lelaki yang membuat luka atau
menyembuhkan luka?”
“Wah, kamu bukan saja cantik, tapi
juga penuh kejutan. Panggil aku Fredy…”
Maya tersenyum lalu membalas uluran
tangan Fredi, “Aku Maya. Suara kamu bagus, Fredy.”
“Tapi kamu nampak tidak tertarik,
Maya.”
Maya tersenyum. Itu senyuman
pertama malam ini. “Jangan menilai dari apa yang kelihatan…,” sahutnya.
“Tentu… tentu. Begitu juga
denganku. Aku bukan obat merah… apalagi sembilu,” sambung Fredy lalu duduk pada
kursi di sisi Maya. “…tapi aku adalah cokelat manis yang bisa membuatmu
ketagihan setengah mati.”
Maya tertawa kecil. “Aku sudah
hafal kelanjutan percakapan ini, Fredy…”
Maya sesaat menoleh ke arah Purnama
dengan tatapan memelas, seperti seorang bocah meminta permen kepada ibunya.
Insting Maya benar adanya. Dua jam
kemudian, dia dan Fredy telah terjebak
di dalam kamar hotel yang dingin dan beraroma terapi. Tapi kontras dengan suasana
kamar, tubuh keduanya begitu hangat dengan kucuran keringat di sana-sini. Napas
keduanya seperti napas dua orang pelari yang berlomba menuju puncak kompetisi,
kejar mengejar, susul menyusul. Walaupun akhirnya pada puncak kompetisi itu
tidak ada lagi pemenang dan pecundang. Keduanya adalah pemenang… atau keduanya
adalah pecundang.
***
Malam berikutnya, di rooftop café yang berbeda, Maya kembali
bercakap-cakap dengan purnama, walau nampaknya kali ini purnama lebih
mendominasi pembicaraan. Sesekali malah menyeringai marah. Maya tertunduk
sedih. Di sisi kanannya terhampar koran dengan berita utama seorang vokalis band ditemukan meninggal di
kamar hotel karena keracunan sianida.
“Dia adalah lelaki pembuat luka.
Ternyata dia telah memiliki dua orang putra dan istri, yang tentu saja kadar
cintanya lebih tinggi dariku, Purnama,” keluh Maya.
Purnama terdiam. Beberapa saat
lamanya keduanya larut dalam keheningan. Sampai seorang lelaki menghampiri meja
Maya. Lelaki itu berbadan tegap dengan penampilan perlente.
“Mbak Miranda?”
Maya sedikit terkejut, lalu
memandang lelaki itu dalam-dalam. “Kamu ini tipe lelaki yang membuat luka atau
menyembuhkan luka?” tanyanya.
Lelaki itu juga terkejut tapi tetap
menyahut mantap “Saya Hans dari Kepolisian.”
“Oh, baik pak Hans dari kepolisian.
Miranda itu masa lalu saya. Sekarang saya lebih sering dipanggil Maya.”
“…dan masa depan kamu adalah
penjara!”
Maya tersenyum lalu menoleh ke arah
purnama. “Dia sepertinya adalah penyembuh luka…,” gumamnya lirih.
Tidak lama kemudian, mobil biru
metalik berisi para reserse dan buruannya meninggalkan café dengan cepat. Di
kursi belakang, Maya perlahan-lahan memejamkan mata. Dia merasa beban berat
yang dipikulnya perlahan-lahan menghilang. Luka-luka yang dideritanya,
perlahan-lahan pulih.
---
pertama kali ditayangkan di kanal fiksi kompasiana
sumber gambar: dnainfo.com
Komentar