Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Ice Punya Sejarah


Di ujung siang, seorang gadis manis berseragam putih merah meniti jalan setapak menuju rumah yang hangat penuh cinta. Ice namanya. Ice memiliki mata yang bulat sempurna, hidungnya tidak mancung pun tidak pesek, bibir mungilnya tidak henti menyunggingkan senyum, kulitnya berwarna sawo matang seperti anak-anak desa pada umumnya.
Sesampai di rumah dia mendapati bapaknya sedang berleha-leha di teras. Dia pun senang bukan kepalang.

“Tadi jualan bapak diborong orang, buat hajatan katanya,” bapak menjawab tanpa ditanya seolah-olah bisa membaca jalan pikiran gadis ciliknya.

Nih, buat jajan,” sambung bapak lagi sambil menyodorkan selembar lima ribuan ke tangan Ice. “…jangan lupa ditabung sebagian ya.”

“Iya, Pak,” sahut Ice girang lalu berlari ke dalam rumah.

Setelah mengganti seragam, Ice keluar mendapati bapaknya lagi.

“Pak, saya mau tanya PR nih…”

Ekspresi bapak berubah. “Kan bapak pernah bilang, kalau tanya PR itu coba tanya kakak atau ibu kamu, Ce…”

“PR-nya gampang kok, Pak…” sahut Ice.

Dia pun menceritakan pelajaran yang diterimanya di sekolah hari ini sampai ibu guru memberi tugas untuk menulis sejarah nama mereka masing-masing. Ice senang sekali dengan tugas itu. Karena dia juga selama ini penasaran dengan nama lengkapnya yang seperti nama mandarin itu. Baru saja Ice bertanya pada ibunya di dapur, tapi ibu menyuruh bertanya langsung pada bapak yang memberi nama itu.

Ekspresi bapak berubah lagi. Kali ini dia tersenyum senang.

“Nah, kalau PR-nya itu memang gampang… Sini duduk sini. Bapak cerita ya, nanti kamu tulis kembali.”

Ice pun mendekat dan duduk di sisi bapaknya. Bapak lalu mulai bercerita.

Saat Ibu Ice hamil tua. Mereka datang ke kota dan tinggal di rumah saudara agar saat persalinan nanti bisa ditangani oleh bidan kota yang lebih professional. Dan waktunya pun tiba. Proses persalinan berjalan lancar karena posisi bayi Ice normal, keadaan fisik ibu baik dan logistik persalinan siap sedia.

Hanya ada “sedikit” masalah karena ternyata yang lahir adalah bayi perempuan. Padahal menurut penerawangan orang tua di desa, anak kedua mereka ini akan berjenis kelamin laki-laki. Mereka pun tidak memiliki persiapan nama perempuan untuk bayi mereka.

Tapi nama harus ditemukan sebelum sanak keluarga berkunjung dan menanyakan. Jadi setelah bayi mungil dimandikan dan didekatkan dengan ibunya lagi, bapak pamit untuk mencari ilham dengan berkeliling areal rumah sakit. Bapak pun menelusuri koridor demi koridor, lantai demi lantai sampai perutnya keroncongan dan mampir sebentar di kantin rumah sakit. Saat itulah dia tiba-tiba menemukan inspirasi, seperti Isaac Newton yang menemukan hukum gravitasi. Dia pun berlari girang kembali ke kamar persalinan.

“Ada apa toh, Pak? Sampai ngos-ngosan begitu?” tanya Ibu begitu bapak muncul tiba-tiba.

“Sudah ketemu, Bu, nama anak kita,” ujar Bapak setelah menenangkan kembali irama napasnya.

Mata ibu berbinar-binar, “Siapa, Pak?”

“Ice… Ice Cincau! Nanti nama terakhirnya pakai nama almarhum bapak kamu saja. Jadi nama lengkapnya, Ice Cincau Waluyo… Bagaimana?”

Ibu nampak senang, “Wah, bagus, Pak. Nama yang cantik, secantik anak kita, Pak…”

Dan akhirnya nama itu pun terpatri pada diri Ice hingga hari ini. Mendengar cerita yang mengharukan itu, Ice mengangguk-angguk penuh semangat. 


---


pertama kali ditayangkan di kanal fiksi kompasiana
gambar dari http://majalahkartini.co.id


 photo Jangancopasing.jpg



Komentar