Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Nakal



Kaki-kaki jenjang itu bukan milikmu
juga dada sintal menantang
juga bibir merah menggoda
juga mata bening yang siap tenggelamkan setiap pria
semua keindahan itu bukan milikmu.


Aku bisa membuatmu jadi lebih hina dari sampah
lewat aliran gurat demi gurat yang dihasilkan tarian pensilku.

Aku tetap bergeming
sekalipun jari-jarimu menari di tepi kesadaran
melepaskan satu per satu penutup tubuh ranum menggairahkan.

Aku bisa saja membuatmu jadi lebih dingin dari malam
lewat goresan warna demi warna yang dihasilkan tarian kuasku.

Terus
teruslah bertingkah nakal
ujilah nadir egosentris seniman ini
aku tetap bergeming
di dalam kepompong idealisme
sekalipun logika nyaris terjerembab
di antara hasrat dan estetika.

Karena aku tahu
semua keindahan itu adalah milik semesta
aku hanya menuangkannya ke atas cipta karya.

Kecuali
semesta pun ikut bertingkah nakal
memaksaku membuka lembar demi lembar kanvas dirimu
memaksaku melebur bersama keindahan miliknya dalam dirimu
memaksaku menyelami gejolak rasa
sampai
kehabisan udara di dalam paru-paru
kehabisan logika di dalam kepala.

Lalu akhirnya kita berdua mengetahui
perjalanan estetika paling jauh sekaligus paling dekat
adalah perjalanan dari kepala ke hati.

Desah napasmu
seperti bisikan semesta
yang membimbingku pulang
seperti rasa yang rindu pulang kepada keindahan.
---

kota daeng, 4 September 2018

pertama kali ditayangkan di kanal fiksi kompasiana
gambar dari http://artisoo.com


 photo Jangancopasing.jpg

Komentar