Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cerita tentang dewa asmara, Cupid, mungkin sudah biasa kamu dengar.
Tapi tidak banyak yang tahu, Cupid sebenarnya punya saudari yang sama piawainya
menembakkan panah-panah asmara. Dewi asmara itu bernama Inggrid. Dia baru saja
membidik jantungku… dan berhasil, Saudara-saudara. Aku kini jatuh cinta dengan
sukses tanpa sanggup bangun kembali.
Wajah Inggrid yang nyaris
setengahnya tenggelam dalam kasur, bersemu merah membaca potongan chat yang dikirimkan Anggoro itu. Sejatinya
Inggrid paham bahwa pesan itu secara intrinsik maupun ekstrinsik penuh rayuan
maut, tapi entah mengapa dia tetap suka dan membiarkan dirinya terhanyut,
seperti lebah mungil yang membiarkan dirinya terbelit sarang laba-laba.
Terbelit..
dan terus terbelit.
Apakah ini pertanda… cinta?
Jawabannya masih menggantung di
langit-langit kelas tempat mereka, Inggrid dan Anggoro, menuntut ilmu. Keduanya
adalah mahasiswa dan mahasisiwi akuntansi salah satu perguruan tinggi terkenal
di Jakarta. Anggoro sebenarnya lebih tua dua tingkat di atas Inggrid, tapi
karena lebih banyak menghabiskan waktu di unit kegiatan mahasiswa, dia gagal
lulus di banyak mata kuliah. Pada tahun akademik ini, dia pun lebih sering
sekelas dengan Inggrid. Seiring kebersamaan itu, benih-benih asmara mulai
tumbuh di antara mereka.
“Kamu tuh lebih cocok jadi
pujangga daripada naik turun gunung, Mas!” seru Inggrid dengan mimik
lucu. Saat
ini keduanya terdampar di pojok kantin kampus ditemani dua mangkuk bakso dan
dua gelas es teh yang menanti pasrah.
Anggoro tertawa. “Loh, pencinta alam dan penyair itu punya
banyak persamaan, Gid! Jangan dipertentangkan gitu,” sahutnya.
“Kalau dipertentangkan sama
akuntansi boleh nggak? Kamu lebih
cocok jadi mahasiswa fakultas sastra atau kampus seni,” sambung Inggrid lagi
spontan.
“Yaah, kalau aku jadi anak sastra
nggak bisa ketemu kamu dong, Giiiid!” Anggoro mencubit hidung Inggrid mesra.
“Halah, gombaaal…”
“Tapi suka kan?”
Mereka kembali larut dalam derai
tawa.
Setelah menandaskan isi mangkuk
masing-masing. Anggoro menggenggam punggung tangan Inggrid. Tulang gerahamnya
sedikit menonjol, menandakan kini berusaha lebih serius.
“Gid, minggu depan kan aku ultah…”
“Iya, tahu. Terus?”
“Mau gak pas aku ultah nanti, kita jalan-jalan ke luar kota.”
Inggrid mengernyitkan kening. “Ke
mana?”
“Kita ke desa wisata. Nanti
ramai-ramai kok, kita ikut salah satu
tour. Ada senior eks mahasiswa
pencinta alam juga yang sekarang sukses bikin usaha tour and travel. Kami akrab banget.
Dia kasih paket tour gratis buat dua
orang untuk hadiah ultah aku. Gimana?”
Mata Inggrid berbinar-binar. “Berapa
lama tour-nya?”
“Empat hari tiga malam…”
“Mau banget. Tapi… aku mesti izin dulu sama orang tua.”
“Oh, iya dong. Sudah pasti. Jangan sampai gak dikasih izin ya. Kasihan panah asmaranya… nganggur!”
Inggrid tersenyum lagi.
***
Hujan mengguyur kota tanpa ampun.
Daun-daun pepohonan sampai tertunduk-tunduk tak mampu menahan derasnya tumpahan
air dari langit.
Inggrid menghempaskan tubuhnya ke
tempat tidur dengan lesu. Sesekali dilihatnya guyuran hujan
dari balik kaca jendela,
berharap hujan di luar sana ikut merasakan kesedihannya.
Papa dan mamanya tidak memberi
izin, itulah penyebab semesta terasa suram dan hilang makna. Bukan saja karena
mereka belum percaya sepenuhnya pada Anggoro, kendati mereka sudah mendapat
penjelasan paling meyakinkan tentang tour
itu. Adik papa Inggrid, alias om Inggrid yang bekerja sebagai peneliti di New Zealand akan pulang ke tanah air
selama beberapa hari. Kesempatan ini jarang sekali terjadi, sehingga papa
Inggrid tidak mau Inggrid kemana-mana dulu saat omnya itu datang berkunjung.
Ah, kebetulan memang
kadang-kadang menyakitkan.
Have a nice trip ya, Mas
Demikian whatsapp terakhir Inggrid yang nampak belum dibaca oleh Anggoro. Entah
karena sedang tidak membuka HP atau memang sedang memasuki kawasan blind spot.
Sementara itu di atas bus yang sudah
berlari puluhan kilometer meninggalkan Jakarta, Anggoro nampak semringah di samping seorang cewek manis
bernama Chika. Chika adalah salah satu peserta tour, namun keduanya sudah saling kenal karena sekelas saat SMP.
Rupanya keduanya saat SMP menjalin cinta monyet dan berpisah saat Anggoro
melanjutkan SMA di Jakarta. Seiring perjalanan panjang itu, mereka bercerita
lepas memanggil keping-keping memori yang sudah terpendam bertahun-tahun
lamanya. Sesekali keduanya tertawa berderai-derai, sesekali saling tersipu malu
dan sesekali saling mencubit mesra.
Cupid yang sudah mempersiapkan
panah asmaranya pun jadi bingung dengan kebetulan demi kebetulan ini.
Mari berharap dia tidak salah
menembakkan panah asmara…
---
gambar dari /https://www.sciencenewsforstudents.org
Komentar