Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Hati yang Terkoyak




Setiap luka memiliki kisah. Tidak terkecuali luka yang dilukis dalam kesenyapan oleh bayang-bayang masa lalu. Tidak apa jika merasa tak perlu berbagi kisah tentang luka itu, toh pada akhirnya kisah-kisah dari setiap luka akan menemukan jalan untuk menyampaikan kebenarannya pada dunia.

Sejak senja, Anggun membiarkan jari-jarinya menari di antara senar gitar menciptakan nada-nada yang  merangkai elegi. Semakin malam angin yang berembus semakin kencang, membuat rambut hitamnya berkibar seperti panji-panji kematian. Untuk kesekian kalinya, Anggun mengganti lagu. Kali ini lagu Fur Elise pada nada dasar A minor. Lagu klasik itu pun jadi terdengar sangat menyayat-nyayat alih-alih menghadirkan melodi yang menenangkan hati.

Jari-jarinya sangat piawai bermanuver dari senar yang satu ke senar yang lain. Dia menekuni alat musik yang satu itu sejak SMP dan saat ini, di kampus, dia pun bergabung ke salah satu band akuistik untuk terus mengasah keterampilannya itu di sela-sela jadwal kuliah.

Di bawah sana, seruan kawan-kawannya jadi lebih mirip dengungan tak jelas dan semakin lama semakin hilang ditelan angin malam. Anggun melirik jam tangannya, sudah jam 7 malam kurang sepuluh menit.

“Tidak lama lagi, Ma…,” gumamnya sendu. “Aku akan segera menyusulmu.”

Setelah lagu penghabisan, Anggun berdiri menantang angin, membuatnya lebih tinggi dari puncak gedung berlantai 30. Kerlap-kerlip lampu jalanan dan lampu kendaraan di bawah sana seperti refleksi bintang-bintang di atas sana.

Dalam sekejab, gambar demi gambar dari masa lalu berkelebat dalam pandangannya. Kecelakaan mama dua tahun lalu yang memaksanya melihat dengan mata kepala sendiri perjuangan wanita yang sangat dikasihinya itu berkelahi dengan maut dan… kalah. Tepat jam 7 malam saat itu, dia menjadi anak yatim piatu.

Sejak saat itu hatinya terkoyak dan memaksa diri meniti semester demi semester di kampus. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh mengecewakan paman yang dengan tulus hati mengasuhnya. Juga Ridho, pada awalnya, lelaki yang berhasil menabur benih-benih cinta di hatinya. Kisah cinta mereka mengalir manis, sehingga koyak pada hatinya sedikit demi sedikit tertambal, seperti luka yang mengering.

Hanya sayang, dari kisah yang manis, cinta mereka semakin liar dan panas. Ridho akhirnya bukan saja menabur benih cinta, tapi benih yang lain… di rahim Anggun. Setelah itu, Ridho menghilang ditelan bumi. Dia tidak ada di mana pun Anggun mencarinya. Akhirnya hati yang nyaris pulih, terkoyak kembali, bahkan lebih parah.

“Aku akan menikahimu, Anggun. Aku akan menikahimu…”

Suara itu terus terngiang di telinganya, dibawa angin malam entah dari mana.

“Aku akan menikahimu, Anggun. Aku akan menikahimu…”

Suara itu lagi. Lalu Anggun tersadar, suara itu berasal dari balik dinding pembatas rooftop, dari antara teman-teman kampusnya.

“Ridho?!”

Anggun menatap tak percaya.

Lalu dia tersadar…

Pandangan itu hanya fatamorgana saja, karena sebenarnya saat ini dia sedang memandang kerlipan di antara kanvas malam. Kerlip bintang-bintang dan kerlip lampu jalanan sekaligus dengan tubuh yang terus melayang ditarik gravitasi.



---

Pertama kali tayang di Kompasiana
gambar dari /https://www.medium.com 




Komentar