Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di tepi langit, hujan sedang berdoa dengan khusyuk. Sambil
berdoa, makhluk besar itu menyerap energi yang berserakan di ceruk-ceruk
semesta. Karena itu saat ini dia sedang mengambil wujud sebagai awan-awan
kelabu menghitam yang tangan-tangannya menjuntai, seperti perdu kekeringan.
Sementara itu di bawah langit, Ece, ibu beranak dua yang
ditinggalkan suaminya dua tahun lalu berteriak memanggil Ardi, putra sulungnya
yang masih betah mengurung diri di dalam kamar. Air kiriman dari pintu air
semakin deras melanda perkampungan dan rumah mereka.
Dalam waktu kurang dari setengah jam saja, ketinggian air
yang semula di mata kaki kini memanjat ke atas betis.
Ece pun membuka pintu kamar dan mendapati Ardi sedang duduk
di atas jendela sambil memandang banjir yang mulai meninggi dan memenuhi gang
di samping rumah mereka. Seragam SMA-nya belum lagi ditanggalkan, baru beberapa
kancing baju yang terlepas dari lobangnya. Di atas tempat tidur ada pakaian
yang ditumpuk tak keruan dan susunan buku-buku pelajaran.
“Apa yang kamu buat, Nak? Ayo bawa baju sama buku-bukumu!
Itu Pak Haji sudah menunggu,” seru Ece lagi.
Ardi berpaling dan menjawab ibunya,
“Saya menunggu hujan lewat, Mak.”
Ece menatap tak mengerti.
---
Di tepi langit, energi sang hujan semakin penuh.
Perlahan-lahan dia mulai mengubah bentuknya dari gumpalan-gumpalan awan mendung
menjadi titik-titik air yang nyaris membekukan udara di sekitarnya. Dari atas
dia melihat doa-doa yang dipanjatkan manusia membumbung tinggi dan membentuk
ribuan payung tak kasat mata.
Hujan tersenyum. “Sebentar lagi payung-payung doa kalian
tidak cukup untuk menahan diriku, wahai manusia,” batinnya.
Tapi sebelum benar-benar mengubah dirinya ke bentuk
paripurnanya. Hujan, tiba-tiba mengubah dirinya menjadi seekor kupu-kupu
bersayap kuning lalu terbang rendah mengitari salah satu perkampungan. Untuk
sesaat dia ingin mengetahui keadaaan di bawah sebelum mulai bekerja.
Banjir sudah menggenangi banyak rumah. Suasana nampak
lengang. Nampaknya sejak tadi penduduk perkampungan tersebut sudah mengungsikan
diri.
Hap!
Saat terbang di antara gang yang sempit, hujan tidak terlalu
memperhatikan keadaan di sekelilingnya sehingga tiba-tiba masuk jaring
perangkap seorang anak. Anak itu tersenyum puas sembari memperhatikan keindahan
sayap kupu-kupu dari celah-celah jaringnya.
“Ardi! Ayo, Nak!” suara Ece terdengar lagi dari balik pintu.
“Sabar, Mak. Saya sudah menangkap hujan. Mak sama Dodi jalan
duluan saja, saya menyusul secepatnya!” sahut Ardi.
Ece geleng-geleng kepala, lalu menghilang sebentar saat
terdengar suara rengekan si Dodi, si adik.
Hujan terkejut karena Ardi ternyata mengetahui jatidirinya.
“Kamu mengenalku?” suara hujan terdengar sangat lirih.
“Tentu,” sahut Ardi. “Aku mengagumi hasil karyamu ini,”
sambil memandang genangan air yang terus meninggi.
“Kalau begitu kamu harus membebaskanku agar aku bisa terus
bekerja.”
Ardi menggeleng sedih. “Aku mohon berhentilah untuk
sementara waktu. Karena banjir ini, Mak tidak bisa membuka warungnya, aku tidak
bisa bermain bola dengan teman-teman. Banyak orang yang harus mengungsi. Hujan,
maukah kamu berjanji akan pergi jauh dari langit kami jika aku melepaskanmu.”
“Tidak bisa. Aku harus melanjutkan pekerjaanku, energiku
sudah penuh. Hanya saja aku tidak bisa berubah bentuk jika terkurung seperti
ini.”
“Kalau begitu, aku tidak akan melepaskanmu. Ayolah hujan,
kamu kan masih bisa melanjutkan pekerjaanmu di langit yang lain!”
Hujan terdiam cukup lama.
“Baiklah kalau begitu. Aku berjanji, tapi … untuk kali ini
saja ya. Jika di musim mendatang aku kembali ke langit kalian ini, jangan
salahkan aku.”
Ardi menjerit senang. “Baik, itu sudah cukup …” lalu mengeluarkan
kupu-kupu dari jaringnya. Sang kupu-kupu lalu terbang ke luar jendela dan
melesat kencang ke atas langit.
***
Setengah jam kemudian, Ardi sudah terantuk-antuk di atas bak
mobil pick up milik Pak Haji
Zainuddin. Di samping Ardi, duduk pula Gilang, putra sulung Pak Haji dan Gito,
adik Gilang. Di sekitar mereka penuh tumpukan barang dan pakaian yang akan
diungsikan untuk sementara waktu di rumah pak Haji yang lain.
Di belakang setir, pak Haji membawa mobil dengan hati-hati
karena jalan keluar kampung mereka juga sudah dilanda banjir. Di sampingnya
duduk Ece menggendong Dodi. Pak Haji senang sekali karena bisa membantu Ece dan
keluarganya. Sejak kepergian istrinya
tercinta beberapa bulan lalu, dia melihat sifat-sifat dan pesona mendiang
istrinya ada pada sosok Ece.
Saat semakin jauh meninggalkan tempat tinggal mereka, langit
yang tadinya gelap dan berwarna kelabu pekat tiba-tiba mulai berona cerah.
Awan-awan mendung mulai pergi satu-satu, meninggalkan kanvas langit yang biru.
Ardi memandang semua itu dari atas mobil yang
terus melaju dengan senang. Hujan telah menepati janjinya.--------
gambar dari https://www.artstation.com
Komentar