Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Buku-buku dan Mimpi Buruk


 

Buku-buku itu
mereka seperti cermin yang menunjukkan sisi lain diri kita.
 
Saat membaca novel fantasi
aku jadi tahu begitu rigidnya diriku
saat membaca buku sejarah
aku jadi sadar idealismeku kadang menyesatkan
saat membaca buku sains
aku jadi paham kebodohan berbahaya dipelihara
saat membaca kitab suci
aku jadi teringat dosa-dosaku
saat membaca buku wirausaha
aku jadi tahu betapa malasnya diriku
saat membaca buku ekonomi
aku mulai mengingat utang-utang pada sahabatku
saat membaca buku filsafat
aku paham begitu dangkalnya cara berpikirku.
 
Akhirnya aku meninggalkan buku-buku itu
membiarkan mereka di sudut kamar
berhari-hari
berbulan-bulan
tidak tersentuh.
 
Sampai pada suatu malam yang sepi
buku-buku itu menggerayangiku
menindihku yang tidak berdaya di atas kasur
melucuti satu per satu pakaianku
lalu mulai membaca membaca diriku yang polos tanpa kedok.
 
Ada yang aneh!
semua halaman
buku-buku yang terbuka mengelilingiku
kosong melompong tanpa tulisan satu aksara pun
ke mana tulisan-tulisan itu pergi?
 
Praang!!
suara cermin pecah membangunkanku.
 
Ah,
syukurlah semuanya baik-baik saja.
 
Buku-buku itu
mereka masih di sudut kamar
menanti untuk dibuka kembali.

---- 

Pertama kali tayang di Kompasiana


Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
          


Komentar