Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mobil Honda Jazz berwarna gelap itu tersamar
pekatnya malam. Sudah empat batang rokok dihabiskan pengendaranya, seorang pria
kekar berbalut jaket kulit coklat pasir. Tapi tidak ada tanda-tanda dia akan
keluar menginjak aspal yang basah akibat hujan. Sesekali bola matanya mengarah
ke sisi jendela mobil, mengintai gerbang sebuah rumah megah di seberang jalan.
Kesabarannya hampir habis, saat terdengar
suara besi tua beradu. Pintu gerbang besi putih sejak tadi membisu bergerak
pelan ke samping. Pria itu bergeming lalu memperhatikan lekat-lekat ke arah
celah pintu, menanti siapapun yang muncul disitu.
Seorang wanita muda berpakaian modis keluar
lalu berjalan perlahan ke tepi jalan yang sepi. Tak lama kemudian gerbang besi
bergerak kembali ke tempatnya, diiringi suara derak yang sama. Walau malam
cukup menyamarkan sosok wanita itu, si pria cukup yakin itulah buruannya. Rokok
yang masih setengah pun dimatikan lalu dia mengecek cepat HP dan kamera
DSLR-nya.
Perhatiannya kembali teralih saat decit ban
mobil berbunyi di sampingnya. Sebuah taksi merah tua berhenti sebentar di depan
wanita tadi. Lalu saat taksi itu melesat lagi, wanita tadi raib. Pria tadi
segera membunyikan mobilnya, lalu secepat kilat mengejar bayangan taksi itu.
Dia tidak ingin kehilangan buruannya.
Sepuluh menit kemudian, taksi dan Honda Jazz
ikut terjebak di dalam semrawut lalu lintas kota. Jarak antara keduanya hanya dibatasi
oleh sebuah sedan hitam. HP pria tadi berbunyi. Begitu panggilannya dijawab,
sebuah suara berat memantul dari seberang.
“Bagaimana,
Marco?”
“Istri anda sedang menuju ke pusat kota. Dia
bersama seorang pria di dalam taksi.”
Suara berat di sebelah terdiam sebentar.
“Saya ingin wajah pria keparat itu,..”
sambungnya pelan dan dingin. Sedingin es di kutub utara.
“Baik. Sekarang konsentrasilah pada makan
malam anda, tuan. Jangan risaukan itu.”
Pria diseberang pun memutuskan teleponnya.
Setelah itu lalu lintas bergerak lagi. Marco memelintir setir hati-hati. Dia
tidak mau buruannya mengendus kehadirannya.
Lima belas menit kemudian. Taksi merapat
perlahan di depan sebuah restoran Jepang. Marco tersenyum tipis. Sebagian besar
dinding restoran terbuat dari kaca nako, itu bisa mempermudah tugasnya. Tapi
biasa pasangan selingkuh enggan pamer. Mereka pasti masuk lebih dalam ke tengah
restoran, dimana pandangan orang luar tidak mampu menjangkau mereka.
Feeling Marco terbukti. Saat wanita buruannya dan pria berjas kelabu turun
dari taksi, mereka langsung beranjak ke pintu masuk restoran dan masuk lebih
dalam ke bagian belakang ruang makan.
Marco pun memperlambat laju mobilnya, lalu
pelan-pelan diparkirkan di seberang jalan di depan sebuah pick up yang pengemudinya tertidur pulas. Dia tertegun sebentar
sambil menyipitkan mata. Pria buruannya seperti tidak asing. Tapi ah, dia tidak
ingin berspekulasi. Lebih baik langsung menuju ke sasaran.
Pelayan restoran dengan sopan menanyakan
pesanannya sambil menyodorkan menu. Marco menjawab sedang menunggu seseorang,
agar pelayan itu cepat-cepat pergi. Marco senang, tempat duduknya di pojok itu
posisinya cukup strategis. Dari situ dia bisa memandang leluasa ke arah
buruannya, tapi tidak sebaliknya.
Saat menanggalkan jaket kulitnya, sekali lagi
dia memperhatikan sepasang manusia yang sedang jatuh cinta itu. Dia
terperangah. Dia baru sekali itu melihat langsung wajah selingkuhan istri
kliennya. Tapi rasanya dia sudah ribuan kali berhadapan dengan wajah itu.
Masih dengan ekspresi tak percaya dia meraih
HP-nya lalu menelepon seseorang. Tak lama kemudian, terdengar suara musik di HP
pria buruannya. Marco benar-benar yakin sekarang.
“Jef, dimana lo?”
Suara diseberang yang tak lain selingkuhan
istri kliennya menjawab tergagap.
“Gue... gue.. lagi meeting sama klien,”
Percakapan terputus. Jefri kebingungan lalu
celingak-celinguk untuk memastikan Marco tidak sedang berada di sekitar situ.
Memang Marco sudah hilang dari situ. Dia sekarang sudah kembali di belakang
setir Honda Jazz-nya.
Panggilan dari kliennya berbunyi lagi. Marco
mengangkatnya ragu-ragu.
“Bagaimana, Marco? Sudah dapat?” Suara berat
dingin kembali terdengar.
Marco menghempas oksigen yang memenuhi paru-parunya.
“Saya kehilangan mereka tuan. Mereka cepat
sekali.”
Sedetik kemudian sumpah serapah terdengar di speaker handphone itu.
Marco pasrah. Tidak mungkin dia membeberkan
identitas Jefri, kakak kandungnya sekaligus selingkuhan kliennya. Kliennya
seorang bos mafia, dan sudah lama mengincar kepala Jefri.
Malam semakin dingin. Hujan menitik lagi,
menghadirkan kehampaan di benak Marco.
______________________
ilustrasi gambar dari: cine-fille.com
Baca juga:
Komentar
Keren bangeeet, Mas Pical!!!
Salam siang
Kacau, keren abis ini sih pak :)
Trims sudah hadir ya mbak Putri
Trims sudah mampir mas Ando
Makasih sudah hadir ya
Keren Pak...
Salam akhir pekan :)