Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Aku Manusia Waras


Ah, pasir di emper pertokoan memang rasanya pahit. Sepahit wajah amoy penunggu toko sepatu dan sepahit wajah sopir taksi yang seenaknya pipis di tembok gang.

Matahari rasanya tidak sadis menyengat lagi. Berarti ini waktunya meneruskan perjalanan mencari kitab suci…. eh, kok jadi ingat serial import favoritku. Ini waktunya meneruskan perjalanan, mengumpulkan plastik bekas air mineral. Franchise baru yang belum lama ini aku geluti.

“Mundur….. mundur!! Kiri…. kiri!!,”

Lamat-lamat aku mendengar lantang bang Sitorus. Sudah balik dia rupanya dari kampung halaman, di ujung Sumatra sana. Aku segera menggerakan kaki-kaki telanjangku menelusuri gang kancil, jalur terdekat menuju ke jalan Sudirman. Disitulah gudang semen tempat bang Sitorus menjadi mandor sejumlah pekerja kurus yang malas bekerja. Padahal pekerjaan mereka mudah saja. Bongkar muat sak-sak semen. Mungkin karena kurang makan juga sepertiku.


Tapi orang-orang sepanjang gang ini sepertinya tidak ada yang diajar sopan santun di sekolahan. Setiap kali aku lewat mereka serta merta menyingkir, menutup pintu dan jendela memberi aku nilai seperti seorang maling. Padahal aku hanya memungut apa yang mereka buang. Tapi ah, masa bodoh. Kini jalan Sudirman yang aspalnya sekumul tempat pembuangan sampah sudah di depan mata. Bau karbonmonoksida menyengat hidung. Sama menyengatnya dengan rasa gatal di kepala dan sekujur tubuh.

Dari kejauhan aku melihat bang Sitorus dengan sigap mengatur sejumlah truk yang akan memuat sak-sak semen. Aku tersenyum senang. Lalu berlari kecil ke arah tempat bongkar muat itu. Siapa tahu dia mau kasih aku oleh-oleh…..

Tapi belum lagi sampai, bang Sitorus sudah menghilang ke dalam gudang. Sedih rasanya. Anak buah bang Sitorus tidak ada yang ramah. Bahkan tidak segan-segan melempariku dengan sandal seperti kucing.

Benar kan! Lihat seorang anak buah bang Sitorus nampak menatap lalu berjalan kasar ke arahku. Baju kaos hitam tanpa lengan, dengan otot menonjol di sana-sini. Aku hampir berbalik sebelum melihat dia menyodorkan sesuatu kepadaku.

“Nih dari bang Sitorus!!” hardiknya. Aku bisa mencium harum tempe goreng dari bungkusan kertas makan itu. Nasi campur seperti biasa. Kebetulan aku juga sudah hampir dua hari ini tidak makan nasi. Tapi aku masih ragu-ragu pada ketulusannya. Matanya juga kelihatan benar-benar tidak bersahabat. “Dia lagi sibuk sekarang. 
Eh, potong rambut kau! Sudah panjang kali itu….!! Ayo ambil…!!”

Orang itu kelihatan gusar. Lalu meletakkan bungkusan itu begitu saja di atas trotoar dan pergi sambil geleng-geleng kepala. Dari sana kawan-kawannya meledek dengan senyuman.

Tapi ah, apa peduliku. Aku segera meraih nasi bungkus itu lalu segera pergi ke tempat makan favoritku, di bawah pohon rindang taman kota. Dua blok dari sini.
Saat menyusuri belakang pertokoan kumuh di jalan luar kompleks pergudangan, aku seperti melihat cermin saat memandang deretan poster pada tembok yang telah pudar dimakan matahari. Aku melihat poster wajahku, gagah dan tegap berbalut jas dan dasi mahal. Itu saat aku belum sepenuhnya waras seperti hari-hari terakhir ini.

Saat melewati ujung bangunan, aku tak sengaja menabrak seorang lainnya. Rambut awut-awutan, baju kumal, tangan dan kaki kering kerontang. Aku pasang senyum termanis, dia pun membalas dengan senyum terlugu. Ah, senang rasanya bertemu dengan orang waras seperti diriku di tengah-tengah kerumunan manusia aneh. Aku sebenarnya ingin berbagi rejeki nasi bungkus ini, tapi dia sudah keburu pergi. Biarlah…. aku juga lapar sedang kelaparan. Rasanya nasi bungkus ini tidak akan cukup menghilangkan rasa laparku.

Tapi sebentar, wajahnya seperti tidak asing. Ah iya! Tadi wajahnya berada tepat di samping wajahku di antara deretan poster pudar yang baru saja aku lewati. 



_____________________

ilustrasi gambar dari: dailyimprovisations.com

Baca Juga:

 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Fabina Lovers mengatakan…
he he he korban pilkada ya?
Lis Suwasono mengatakan…
Caleg gagal? Hehehe...
Yang nggak waras mengaku waras wkwkwk :D
PutriAndPapa mengatakan…
Ngenes bacanya Om.................
Unknown mengatakan…
Suka ampilan blognya :) Freshhhh... Btw, salam ya sama Abang Sitorus :v
Ando AJo mengatakan…
wkwkkw jadi inget cerita Wiro Sableng :D
"Dalam dunia yang gila ini, hanya orang-orang gilalah yang lebih waras"

hahaha kereeen
pical gadi mengatakan…
Kira-kira begitulah mbak Fabina. Trims sudah mampir yaa
pical gadi mengatakan…
Hahaha. Ketahuan yaa :D
pical gadi mengatakan…
Dunia terbalik mbak Putri. Makasih sudah hadir :)
pical gadi mengatakan…
:)
Salam kenal PutriAndPapa.
pical gadi mengatakan…
Sipp. Ntar aku kenalin mbak Fitri....
Makasih sudah hadir yaa
pical gadi mengatakan…
Mas Ando, di komputer yg lama saya punya beberapa e-novel Wiro Sableng. Saya suka dengan filosofi di atas.
Makasih sudah mampir yaa