Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ah, pasir di emper pertokoan memang rasanya pahit. Sepahit wajah
amoy penunggu toko sepatu dan sepahit wajah sopir taksi yang seenaknya pipis di
tembok gang.
Matahari rasanya tidak sadis menyengat lagi. Berarti ini
waktunya meneruskan perjalanan mencari kitab suci…. eh, kok jadi ingat serial import favoritku. Ini waktunya
meneruskan perjalanan, mengumpulkan plastik bekas air mineral. Franchise baru yang belum lama ini aku
geluti.
“Mundur….. mundur!! Kiri…. kiri!!,”
Lamat-lamat aku mendengar lantang bang Sitorus. Sudah balik
dia rupanya dari kampung halaman, di ujung Sumatra sana. Aku segera menggerakan
kaki-kaki telanjangku menelusuri gang kancil, jalur terdekat menuju ke jalan
Sudirman. Disitulah gudang semen tempat bang Sitorus menjadi mandor sejumlah
pekerja kurus yang malas bekerja. Padahal pekerjaan mereka mudah saja. Bongkar muat
sak-sak semen. Mungkin karena kurang makan juga sepertiku.
Tapi orang-orang sepanjang gang ini sepertinya tidak ada
yang diajar sopan santun di sekolahan. Setiap kali aku lewat mereka serta merta
menyingkir, menutup pintu dan jendela memberi aku nilai seperti seorang maling.
Padahal aku hanya memungut apa yang mereka buang. Tapi ah, masa bodoh. Kini
jalan Sudirman yang aspalnya sekumul tempat pembuangan sampah sudah di depan
mata. Bau karbonmonoksida menyengat hidung. Sama menyengatnya dengan rasa gatal
di kepala dan sekujur tubuh.
Dari kejauhan aku melihat bang Sitorus dengan sigap mengatur
sejumlah truk yang akan memuat sak-sak semen. Aku tersenyum senang. Lalu berlari
kecil ke arah tempat bongkar muat itu. Siapa tahu dia mau kasih aku oleh-oleh…..
Tapi belum lagi sampai, bang Sitorus sudah menghilang ke
dalam gudang. Sedih rasanya. Anak buah bang Sitorus tidak ada yang ramah.
Bahkan tidak segan-segan melempariku dengan sandal seperti kucing.
Benar kan! Lihat seorang anak buah bang Sitorus nampak
menatap lalu berjalan kasar ke arahku. Baju kaos hitam tanpa lengan, dengan
otot menonjol di sana-sini. Aku hampir berbalik sebelum melihat dia menyodorkan
sesuatu kepadaku.
“Nih dari bang Sitorus!!” hardiknya. Aku bisa mencium harum
tempe goreng dari bungkusan kertas makan itu. Nasi campur seperti biasa. Kebetulan
aku juga sudah hampir dua hari ini tidak makan nasi. Tapi aku masih ragu-ragu
pada ketulusannya. Matanya juga kelihatan benar-benar tidak bersahabat. “Dia
lagi sibuk sekarang.
Eh, potong rambut kau! Sudah panjang kali itu….!! Ayo ambil…!!”
Orang itu kelihatan gusar. Lalu meletakkan bungkusan itu
begitu saja di atas trotoar dan pergi sambil geleng-geleng kepala. Dari sana
kawan-kawannya meledek dengan senyuman.
Tapi ah, apa peduliku. Aku segera meraih nasi bungkus itu
lalu segera pergi ke tempat makan favoritku, di bawah pohon rindang taman kota.
Dua blok dari sini.
Saat menyusuri belakang pertokoan kumuh di jalan luar kompleks
pergudangan, aku seperti melihat cermin saat memandang deretan poster pada tembok
yang telah pudar dimakan matahari. Aku melihat poster wajahku, gagah dan tegap
berbalut jas dan dasi mahal. Itu saat aku belum sepenuhnya waras seperti
hari-hari terakhir ini.
Saat melewati ujung bangunan, aku tak sengaja menabrak
seorang lainnya. Rambut awut-awutan, baju kumal, tangan dan kaki kering
kerontang. Aku pasang senyum termanis, dia pun membalas dengan senyum terlugu. Ah,
senang rasanya bertemu dengan orang waras seperti diriku di tengah-tengah
kerumunan manusia aneh. Aku sebenarnya ingin berbagi rejeki nasi bungkus ini,
tapi dia sudah keburu pergi. Biarlah…. aku juga lapar sedang kelaparan. Rasanya
nasi bungkus ini tidak akan cukup menghilangkan rasa laparku.
Tapi sebentar, wajahnya seperti tidak asing. Ah
iya! Tadi wajahnya berada tepat di samping wajahku di antara deretan poster
pudar yang baru saja aku lewati.
_____________________
ilustrasi gambar dari: dailyimprovisations.com
Baca Juga:
Komentar
"Dalam dunia yang gila ini, hanya orang-orang gilalah yang lebih waras"
hahaha kereeen
Salam kenal PutriAndPapa.
Makasih sudah hadir yaa
Makasih sudah mampir yaa