Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kisah Opa Melawan Kompeni


Opa, begitu panggilan warga kampung kepada seorang kakek yang dulu pernah jadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Setiap sore, rumah Opa yang memiliki teras dan pekarangan lapang selalu ramai oleh bocah-bocah. Mereka memanfaatkan teras dan pekarangan opa untuk bermain apa saja. Mulai dari main karet, petak umpet, gundu, bola bekel dan aneka dolanan tradisional lain.

Suatu sore, beberapa anak perempuan yang  lagi asik main bola bekel di teras rumah opa tiba-tiba berlarian meninggalkan tempat duduknya sambil berteriak histeris. Opa yang sedang membaca koran sore di sudut teras jadi terganggu lalu menanyai anak-anak tersebut.

“Eh, eh. Kenapa ini teriak-teriak? Ada apa cucuuu….!!?” sergah Opa dengan suaranya yang serak-serak kering.


Bocah-bocah pun berkerumun dekat kakek lalu menunjuk-nunjuk di lantai tempat duduk mereka tadi.

“Itu, Opa…. Tadi ada laba-laba yang lewat. Kami kan takutttt….!!” sahut mereka.

Opa pun geleng-geleng kepala.

“Halah, kalian ini…. Laba-laba aja sampai takut begitu….. Bagaimana kalau yang lewat kompeni??”

Anak-anak kelihatan tidak mengerti. Opa pun menyuruh anak-anak duduk disekitarnya lalu mulai bercerita sambil menerawang masa lalu.

“Opa dulu waktu masih jadi pejuang kemerdekaan, setiap hari mesti gerilya. Keluar masuk hutan, untuk melawan kompeni Belanda. Kalau udah perang, Opa dan kawan-kawan setiap saat mesti siap sedia. Tembak menembak dan terjangan peluru sudah jadi makanan Opa sehari-hari. Opa dan kawan-kawan opa tidak pernah takut…..,”

Opa menarik napas panjang karena hampir keabisan oksigen. Lalu mulai bercerita lagi.

“….pernah suatu hari markas Opa dan kawan-kawan di tengah hutan digrebek oleh tentara kompeni. Kawan-kawan Opa waktu itu pada lari ketakutan. Opa tinggal sendiri, tapi Opa tidak ikut lari….”

Anak-anak kelihatan terkesima dengan heroisme Opa.

“Kok, opa tidak ikut lari??”

“Opa tidak ikut lari karena opa berani dan siap mati kapan saja untuk kemerdekaan bangsa. Begitu cucu-cucu…”

Tiba-tiba Oma keluar dari rumah sambil mencibir lalu memotong penjelasan Opa.

“Huu..!! Waktu itu Opa tidak ikut lari bukan karena berani. Waktu itu opa memang tidak bisa lari lagi soalnya moncong senapan kompeni udah terlanjur nempel di kepala Opa!!”

Opa terlihat jengkel karena Oma buka kartu lagi. Padahal bocah-bocah di depannya udah terlanjur terkesima. Tapi begitu Opa mau komplain, Oma langsung nyerocos lagi.

“…Tuh bebek-bebek blom pada masuk ke kandang! Cucian blom diangkat!! Pompa aer blom dinyalain!”

Opa pun beranjak malas-masalan dari kursinya. Takut Oma nyerocos lagi. Nasib….. nasib!!, dulu perang lawan kompeni sekarang jadi gembala bebek.


*********************   

ilustrasi gambar dari: id.wikipedia.org

Baca Juga:


 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Ryan M. mengatakan…
Aduuh, dah terlanjur terkesima dengan judulnya, eh ujung-ujungnya :D
Fabina Lovers mengatakan…
Jiah, Oma gak bisa diajakin kompak nih
Lis Suwasono mengatakan…
Wakakak... bagian penutupnya itu lho... :D
wkwkwkwk Opaaaaa, riwayatmu kiniiiiii #eh :D
pical gadi mengatakan…
Hehehe.... maap ya mas Ryan. Jebakan betmen
pical gadi mengatakan…
Iya nih si Oma, buka kartu saja! Hehehe. Trims sudah mampir ya bu Fabina
pical gadi mengatakan…
:D
Trims mampirnya bu Lis
pical gadi mengatakan…
Iya mbak Putri. Lagunya cocok tuh... Hehehe
dy mengatakan…
Penutup yang Mak Jleb tuh Pak....wkwkwk
PutriAndPapa mengatakan…
Awalnya serius. Akirnya gubrak bngt. Akakakakakakak
pical gadi mengatakan…
Wkwkwk...
Makasih sudah mampir mbak
pical gadi mengatakan…
Biar bacanya jangan terlalu serius, jadi dikasih ending koplak... :D