Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Langit siang itu tak berawan. Matahari pun
leluasa membakar permukaan bumi. Aspal jadi sepanas penggorengan martabak. Tapi
Joni dan Otong yang berboncengan di atas sepeda motor tidak peduli. Mereka
kelihatan sangat hepi bisa bergabung
dalam konvoi partai PMS4 (Partai Masyarakat Sehat, Sukses dan Sejahtera
Selamanya). Barisan konvoi didominasi warna hitam, warna kebangsaan partai
tersebut. Joni bertugas menjalankan sepeda motor, dan Otong di boncengan
bertugas mengibar-ngibarkan bendera partai. Pokoknya simpatisan abis.
Fenomena konvoi keliling kota ini dilakukan
banyak partai sebagaimana biasa, terutama setelah diperbolehkan melakukan
kampanye terbuka. Diamati sepintas, rombongan sepeda motor PMS4 lumayan banyak,
kira-kira bisa mencapai 100-an sepeda motor.
Setelah konvoi berjalan beberapa lama, Otong memaksa
Joni untuk berhenti. Dia kebelet pingin pipis.
“Duuh.... gak bisa bro. Udah ditahan dari tadi.
Kamu mau saya pipis di jok motor kamu!”
“Eehh.. jangan, jangan!! Gila kamu!”
Joni pun memisahkan diri dari rombongan begitu
dia melihat ada kumpulan semak belukar yang cukup rimbun tidak jauh dari
tikungan. Begitu laju sepeda motor berhenti, Otong langsung melompat dari
tempat duduknya dan berlari ke arah semak belukar.
“Awas ada ular sanca! Hehehe,” goda Joni.
Tapi Otong enggan membalas. Dia menurunkan resleting celana jeansnya lalu menumpahkan isi
kandung kemihnya dengan nikmat.
“Cepetan! Kita sudah jauh ketinggalan nih!!”
teriak Joni.
“Sabar dikit napa? Udah sejam ditahan nih, gak
bisa cepet-cepet!” balas Otong. Kelihatan memang dia masih menikmati ritualnya.
Barulah setengah menit kemudian, Otong kelar.
Dia merapikan resletingnya, mengambil kembali bendera partai yang di taruh asal
di atas semak-semak. Lalu kembali ke belakang Joni.
“Ayo cepetan!,” ucapnya sambil menepuk pundak
Joni.
“Sialan! Kamu tuh yang bikin lama.”
Joni memang sengaja tidak mematikan mesin
motornya, jadi begitu Otong udah duduk di boncengan, dia langsung tancap gas.
Begitu melewati tikungan, mereka terpekur.
Jalan lurus di depan mereka kelihatan lengang, tidak ada tanda-tanda rombongan
mereka tadi. Kelihatannya mereka sudah tertinggal cukup jauh.
“Haahh!! Cepet juga jalannya!” Ucap Otong.
“Gara-gara kamu nih pakai acara pipis segala.”
“Kamu nggak tahu rutenya ya?”
“Nggak. Tadi kan disuruh ngikut aja!”
“Waduhh!!”
“Gini deh. Kita lurus aja dulu. Kamu coba
telepon bang Cakra!”
“Oh iya. OK”
Otong langsung merogoh HP di saku celananya
lalu menelepon bang Cakra, salah satu korlap sekaligus kawan mereka, yang
mengajak ikut iring-iringan simpatisan partai. Sementara itu Joni kembali
melajukan motornya mengikuti jalanan di depannya. Saat melewati simpang empat,
Joni celingak-celinguk untuk melihat adakah tanda-tanda rombongan mereka.
“Wah, Cakra gak ngangkat teleponnya lagi!”
kata Otong
“Eh... eh,” Joni memicingkan matanya. “Itu
mereka kan?” telunjuknya mengarah ke kanan persimpangan, menunjuk sebuah
rombongan konvoi yang sudah menjauh, sebentar lagi hilang dari pandangan.
“Oh iya!,” seru Otong. “Ayo cepat Jon, kejar
mereka!”
Sepeda motor pun digeber lagi, setirnya di
banting ke kanan lalu dilajukan secepat mungkin mengejar rombongan konvoi yang
semakin jauh.
Tidak sampai 5 menit kemudian mereka sudah
bergabung lagi bersama rombongan.
“Fiuhh.... akhirnya terkejar,” kata Joni lega.
Dia setengah berseru untuk mengalahkan suara deru motor lainnya. Otong pun
kembali melambai-lambaikan bendera partai.
Perjalanan berlangsung hampir 10 menit ketika
mereka merasakan keanehan. Pertama, sepertinya tidak ada satu pun wajah yang
familiar di antara rombongan tersebut. Bang Cakra juga dari tadi tidak
kelihatan batang hidungnya. Kedua, sepertinya rombongan mereka mengambil rute
jalan alternatif yang mengarah ke luar kota. Ketiga, sepertinya semua orang
yang tadi membawa atribut partai seperti bendera, spanduk, dan umbul-umbul
tidak nampak lagi. Pada hilang kemana?
“Bang Cakra kemana ya, motornya dari tadi gak
kelihatan?” seru Joni ke Otong di belakangnya.
“Iya ya. Mungkin dia pindah di bagian depan!”
sahut Otong.
“Kita cek ya...!”
Joni susah payah menyisir padatnya konvoi.
Orang-orang yang dilewati juga nampak memandang sinis ke arah mereka. Belum
lagi setengah rombongan dilewati, rupanya bagian depan konvoi sudah menepi.
Joni melihat pergerakan motor-motor dan sejumlah mobil ke tepi jalan, bagian
tengah dan belakang konvoi juga mengikuti. Joni dan Otong tambah ketar-ketir,
mereka hafal benar daerah itu.
Sama sekali bukan tempat yang pantas untuk sebuah
konvoi partai.
“Jon, kok mampirnya ke pemakaman umum sih?!!”
Otong bertanya heboh.
“Iya nih! Mau kampanye atau mau ngelayat
sih??!!” sahut Joni tak kalah hebohnya. Tapi dia ikut menepikan juga motornya
mengikuti rombongan konvoi yang lain.
“Mau kampanye ya mas? Salaaahh!!!”
Seorang anggota konvoi yang paling dekat
dengan mereka menimpali judes. Motornya berhenti di samping motor Joni. Bapak
berkumis bertubuh gempal yang duduk di boncengan ikutan menghardik Joni dan
Otong.
“Pantes dari tadi ngibar-ngibarin bendera
kayak orang gila!”
“Looh.... i, ini bukan konvoi partai ya, pak?
Eh mas! Eh, pak?” tergagap-gagap Joni menyahut.
“Bukaaan!!!” seru kedua lawan bicara mereka.
“Ini konvoi jenazah...!! Makanya lain kali
lihat-lihat dulu kalau mau konvoi! Jangan asal aja....!!”
Joni dan Otong saling berpandangan pasrah.
Memalukan!
__________________
ilustrasi gambar dari: www.antarafoto.com
Baca Juga:
Komentar