Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Pagi di Jendela Sang Pujangga


Bunga matahari takzim pada pagi
memberi salam pada langit merah.
Tanah dan rumput basah oleh embun.
.
Daun mahoni mengetuk
lalu jemari sang pujangga membuka tirai jendela.
Desah semesta dibisikkan pada kertas dan alas meja jati
pagi ini pun
dia masih terjaga.
Aroma kopi hitam menggantungkan potongan kantuk
di pelupuk mata.
.
Sang pujangga meniup gelas kopi
menebar asap putih pada relung pagi.
.
Ayam jantan mematuk remah-remah,
merayu betina yang malu-malu mendekat.
Perhatian sang pujangga teralih.
Sejenak tersenyum.
.
Lalu kembali menorehkan goresan tinta
di atas kertas putih
melukiskan gundah dan nelangsa yang bergelayut
karena kekasih hati dibawa angin

ke ujung kehampaan.

___________________________

ilustrasi gambar dari: www.pinterest.com


Baca juga:



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Fabina Lovers mengatakan…
Wah bang Pical, pagi ini tampaknya kita sama-sama kontempelasi ya, bagus lho puisinya
Ryan M. mengatakan…
Selamat pagi :)
pical gadi mengatakan…
Kompak dunk :)
Makasih sudah hadir bu Fabina. Salam pagi
pical gadi mengatakan…
Pagi Mas Ryan :)
Have a nice weekend
Tadinya saya membayangkan suasana romantis, ternyata si pujangga lagi galau to, hehe..
pical gadi mengatakan…
Iya mbak Putri. Tapi tak apa, justru karena galau jadi banyak inspirasi. Hehehe