Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Malam Pertama yang Sedih



Bahagia

Itu kata sakti yang mestinya aku rasakan hari ini dan semakin terasa saat rembulan memanjat malam, menebar serbuk sihir di atas ranjang pengantin beraroma melati. Gaun dan kebaya sudah tersampir kembali ke pelukan almari jati. Sisir menata rambut ikal sepinggul sudah kualunkan belasan kali. 

Tapi mengapa mas Purba belum juga datang memelukku? Dan mengapa aku merasa……. tidak sepenuhnya bahagia?

Merasa jawabannya datang sebentar lagi, aku menajamkan pendengaranku.

Pintu kamar diketuk. Aku beringsut dan memuntir kunci pintu.

Raisa, adik iparku masuk dengan mata memerah karena linangan air mata.

“Mbak, Mas Purba mbak! Mas Purba pergi….!!”, isaknya lalu memelukku. Aku pun melarutkan diri dalam pelukannya. Aku berusaha membendung air mataku, tetapi tak berdaya.


Inilah yang aku takutkan.

Purba menikahiku bukan karena cinta, walaupun aku mencintai pria itu lahir dan batin, dalamsakit dan senang, dalam untung dan malang. Pernikahan ini terjadi hanya karena dia ingin memenuhi permintaan terakhir almarhum ibunya. Purba punya seorang gadis lain di luar sana, aku tahu. Juga aku tahu, keluarga Purba termasuk mendiang ibunya tidak pernah setuju dengan hubungan itu.

“Aku akan memenuhi permintaan ibu untuk menikahimu, Laksmi! Tapi hanya sampai disitu, jangan sekali-kali kamu berharap lebih. Aku janji!!,” ucapan ketus dari bibir mas Purba itu terngiang kembali.

Akhirnya seiring malam yang semakin larut, Raisa tertidur di kamarku. Guruh bersahutan di luar sana pertanda badai akan segera menyapa. Aku menarik selimut, menyelimuti tubuhku dan tubuh Raisa di sampingku.

Tiba-tiba HP-ku berbunyi, jantungku seketika berdegup lebih kencang.

Itu panggilan dari Helena, salah satu kawan mas Purba. Eh, dia juga terdengar sedang terisak sedih. Tidak adakah orang yang berbahagia malam ini?

“Laksmi,….. Purba kecelakaan. Dia… dia tidak tertolong lagi,…”

Aku tercekat.

“Aku….. aku di Rumah Sakit Grestelina….,”

Aku merinding seketika. Sepertinya mas Purba benar-benar memenuhi janjinya. 

_____________________________


ilustrasi gambar dari: www.wcyb.com





 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Haduuuh... :'(
Anonim mengatakan…
Kasihan...
Tiwi's Corner mengatakan…
Aduh endingnya :-(
pical gadi mengatakan…
Cuman bisa dibuat seperti itu :)
pical gadi mengatakan…
Iya mbak Dyah... kasihan
pical gadi mengatakan…
Maaf ya sudah disuguhi yg tragis2 bu Fabina. Makasih kunjungannya
pical gadi mengatakan…
:(
Ikut sedih. Makasih sudah mampir ya mbak Putri
pical gadi mengatakan…
Sedikit mellow gak apa ya bu Lis