Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [19-20]


Pagi-pagi benar, suasana halaman depan padepokan sudah ramai. Kesha, Huria dan Basaman sudah siap dengan perbekalan masing-masing. Mereka telah berpamitan kepada Guru Shandong, para guru dan kawan-kawan murid lainnya, juga pada Thores, kawan karib mereka.

Guru Shandong rupanya telah mempersiapkan keberangkatan mereka dengan baik. Peta perjalanan ke tujuan beserta beberapa keping Raphao dan beberapa bungkus bubuk ramuan telah disiapkan dalam tas kulit untuk masing-masing dari mereka.


Kesha yang memang mengakrabi hewan-hewan raksasa memilih menunggangi salah satu naga yang dipelihara di padepokan untuk mengantarnya sampai ke tujuan. Huria dan Basaman menggunakan hewan yang lebih mudah ditunggangi, er, sejenis burung pemakan buah raksasa yang memang dilatih para kaum sihir untuk tunggangan pada perjalanan jarak jauh. Tempat yang mereka datangi cukup jauh dari padepokan, jadi akan butuh waktu berhari-hari jika menggunakan kuda sebagai tunggangan.

Kesha, Huria dan Basaman yang telah bersedia di atas naga dan er masing-masing pun memberi aba-aba kepada tunggangannya agar segera lepas landas. Saat hewan-hewan tunggangan mengepakkan sayap masing-masing, udara pagi bergemuruh hebat.  Gemuruh udara itu bercampur dengan riuh suara murid-murid lain yang meneriakkan ucapan selamat jalan.

Ketiga hewan terbang itu pun melesat ke angkasa. Di tengah-tengah langit, ketiganya berpencar ke arah yang berbeda. Kesha terbang ke arah selatan, Basaman mengarah lurus ke timur dan Huria ke arah utara.

Guru Shandong yang berdiri bersisian dengan Thores memandang peristiwa tersebut dengan mata berkaca-kaca. Thores sendiri walaupun nampak tegar, air mukanya tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan yang dalam. Bagaimanapun juga ketiga kawannya itu adalah teman seperjuangan menempuh tahun-tahun pendidikan di padepokan.

Seiring matahari yang semakin meninggi, keadaan halaman depan padepokan mulai lengang. Satu per satu guru dan murid masuk kembali ke untuk melanjutkan kegiatan mereka.

Guru Shandong menepuk bahu Thores.

“Ayo, Thores. Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan. Kita mulai dengan mengunjungi ruang kerja Bashmir. Aku akan mulai mengajarimu tentang pengelolaan padepokan ini.”

“Baik, Guru,” sahut Thores takzim.

Keduanya pun masuk kembali ke areal padepokan dan berjalan menuju ke salah satu bangunan tinggi yang dipagari pohon Oak muda.

“Guru,” Thores berhenti sejenak saat kaki-kaki mereka mulai menapaki selasar bangunan tersebut.

“Ada apa, Thores?”

“Apakah mereka akan baik-baik saja?”

Guru Shandong berusaha menangkap kegundahan dari mata Thores dan tersenyum hangat.

“Kalian semua adalah murid-murid terbaik yang pernah dimiliki padepokan ini. Ya, tentu mereka akan baik-baik saja, Anakku. Kawan-kawanku akan menerima mereka dengan senang hati. Mereka pasti akan membawa banyak kebahagiaan bagi kaum sihir di mana pun mereka berada. Seperti halnya keberadaanmu di padepokan ini. Ayolah, kamu harus belajar dengan cepat agar aku bisa menikmati masa pensiunku dengan segera.”

“Aku akan berusaha belajar dengan baik, Guru.”

“Oh, ya. Aku juga harus membiasakan diri memanggilmu dengan nama barumu, Basalto. Kedengaran lebih megah, bukan?”

Thores alias Basalto mengangguk. Mereka pun kembali melangkah.

“Udara pagi ini agak dingin, sepertinya bagus kalau kita singgah di pondok Nyonya Gamigael dulu. 
Dia akan senang hati membuatkan teh rempah hangat untuk kita….”

********* 

Peristiwa perpisahan tersebut kemudian menjadi sejarah baru bagi keempat murid… dan juga kaum sihir.

Seperti yang sudah dibayangkan Guru Shandong, sepak terjang keempat muridnya akan menjadi angin segar bagi peradaban kaum sihir.

Kesha yang kemudian dipanggil Emerald, cukup berhasil mengembangkan ilmu sihir yang dipadukan dengan ilmu pengobatan herbal. Huria yang kemudian dipanggil Ruby memesonakan kaum sihir di utara dengan kepiawaiannya mengelola pikiran manusia.

Basaman yang kemudian dipanggil Ametys, berhasil menjadikan desa-desa kaum sihir di pesisir timur menjadi daerah pertanian yang terkenal. Tentu dia memanfaatkan dengan baik pengetahuan sihirnya untuk bersahabat dengan alam. Thores sendiri, yang kemudian dipanggil Basalto, semakin hari semakin mampu mengimbangi guru Shandong mengelola padepokan sihir. Guru Shandong bahkan telah mendelegasikan sebagian besar pekerjaan hariannya kepada Basalto. Mulai dari keperluan logistik sampai mengambil alih pelajaran sihir yang biasa diajarkan Guru Shandong kepada para murid.

Setahun berlalu, nama keempat penyihir muda semakin terkenal di kalangan kaum sihir. Banyak tetua-tetua kaum sihir yang membanding-bandingkan mereka dengan Guru Shandong sendiri. Selain memiliki keahlian yang mumpuni dalam aliran ilmu sihir yang mereka tekuni, keempatnya juga semakin terlihat sebagai sosok penyihir yang kuat, rendah hati, cerdas dan bijaksana. Para tetua seperti melihat kembali  sosok kawan mereka, Guru Shandong, dalam rupa yang lebih muda.
Belakangan ini, kebesaran nama mereka tidak hanya terdengar di kalangan kaum sihir saja, tetapi juga manusia biasa. Emerald di Selatan, Ruby di Utara, Basalto di Barat dan Ametys di timur Gopalagos. Kepiawaian keempatnya membantu manusia dengan kekuatannya telah diketahui banyak orang.

Ada cerita tentang seorang raja yang sampai rela melakukan perjalanan berkuda berhari-hari lamanya ke utara  untuk mengantar putri yang dicintainya. Puterinya menderita hilang ingatan dan menjadi gila. Penyebabnya adalah kekasihnya, seorang Pangeran dari kerajaan tetangga, melukai hatinya dengan menikahi putri kerajaan lain.

Perang antara dua kerajaan hampir tidak terhindarkan lagi. Untunglah salah satu penasehat raja menyarankan agar Sang Putri dibawa ke penyihir Ruby di utara Gopalagos. Siapa tahu di tangan penyihir Ruby dia bisa mendapat kesembuhan, seperti cerita-cerita penyembuhan penyakit serupa yang mereka dengar sebelumnya.

Selama dalam perjalanan, Sang Putri harus dikerangkeng dalam kereta khusus dan dijauhkan dari benda-benda yang terbuat dari logam, karena dia selalu ingin melukai dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan, Sang Raja terus menahan kepedihan hatinya karena melihat keadaan Sang Putri yang memprihatinkan.

Mereka melakukan perjalanan dua minggu lamanya, termasuk melewati padang salju, tempat desa kaum sihir yang ditempati Ruby berada.

Saat rombongan itu baru saja memasuki perbatasan desa, Ruby sudah berlari mendapatkan mereka. Raja dan rombongan terkejut, karena mendapati penyihir yang diagung-agungkan itu ternyata masih muda belia. Ruby langsung mengarahkan kakinya ke kereta Sang Putri dan menemukannya sedang meringkuk menahan dingin dengan wajah penuh kepiluan dan keputusasaan. Bau pesing menyeruak dari antara kerangkengnya.

“Dia sekarat, Yang Mulia,” ucapnya lirih. “Dia dibuat gila oleh cinta. Ada seorang pria, memakai baju kebesaran, seorang pangeran sepertinya. Apa yang terjadi?”

“Pria brengsek itu mengkhianati cintanya yang tulus,” ayahnya menjawab dengan lemah, menahan amarah.

Ruby meniupkan kata-kata magis sehingga Sang Putri tertidur tiba-tiba.

Prajurit dan beberapa utusan raja tersentak dibuatnya. Begitu juga Ruby, tetapi Ruby menenangkan mereka.


“Dia tidak apa-apa, Tuan-tuan. Pikirannya terlalu lelah. Untuk orang biasa, mantra itu baru bekerja setengah hari kemudian,” ucapnya. “Mari bawa Sang Putri ke rumah paman Herdes. Aku akan berusaha membersihkan pikirannya.”

----------

(bersambung)

ilustrasi gambar dari: www.deviantart.com
 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mampirnya bung Suryadiarmanrozaq