Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pagi-pagi benar, suasana halaman depan padepokan sudah
ramai. Kesha, Huria dan Basaman sudah siap dengan perbekalan masing-masing.
Mereka telah berpamitan kepada Guru Shandong, para guru dan kawan-kawan murid
lainnya, juga pada Thores, kawan karib mereka.
Guru Shandong rupanya telah mempersiapkan keberangkatan
mereka dengan baik. Peta perjalanan ke tujuan beserta beberapa keping Raphao dan beberapa bungkus bubuk ramuan
telah disiapkan dalam tas kulit untuk masing-masing dari mereka.
Kesha yang memang mengakrabi hewan-hewan raksasa memilih
menunggangi salah satu naga yang dipelihara di padepokan untuk mengantarnya
sampai ke tujuan. Huria dan Basaman menggunakan hewan yang lebih mudah ditunggangi,
er, sejenis burung pemakan buah
raksasa yang memang dilatih para kaum sihir untuk tunggangan pada perjalanan jarak
jauh. Tempat yang mereka datangi cukup jauh dari padepokan, jadi akan butuh
waktu berhari-hari jika menggunakan kuda sebagai tunggangan.
Kesha, Huria dan Basaman yang telah bersedia di atas naga
dan er masing-masing pun memberi aba-aba kepada tunggangannya agar segera lepas
landas. Saat hewan-hewan tunggangan mengepakkan sayap masing-masing, udara pagi
bergemuruh hebat. Gemuruh udara itu
bercampur dengan riuh suara murid-murid lain yang meneriakkan ucapan selamat
jalan.
Ketiga hewan terbang itu pun melesat ke angkasa. Di
tengah-tengah langit, ketiganya berpencar ke arah yang berbeda. Kesha terbang
ke arah selatan, Basaman mengarah lurus ke timur dan Huria ke arah utara.
Guru Shandong yang berdiri bersisian dengan Thores memandang
peristiwa tersebut dengan mata berkaca-kaca. Thores sendiri walaupun nampak
tegar, air mukanya tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan yang dalam.
Bagaimanapun juga ketiga kawannya itu adalah teman seperjuangan menempuh
tahun-tahun pendidikan di padepokan.
Seiring matahari yang semakin meninggi, keadaan halaman depan
padepokan mulai lengang. Satu per satu guru dan murid masuk kembali ke untuk
melanjutkan kegiatan mereka.
Guru Shandong menepuk bahu Thores.
“Ayo, Thores. Masih banyak pekerjaan yang harus kita
lakukan. Kita mulai dengan mengunjungi ruang kerja Bashmir. Aku akan mulai
mengajarimu tentang pengelolaan padepokan ini.”
“Baik, Guru,” sahut Thores takzim.
Keduanya pun masuk kembali ke areal padepokan dan berjalan
menuju ke salah satu bangunan tinggi yang dipagari pohon Oak muda.
“Guru,” Thores berhenti sejenak saat kaki-kaki mereka mulai
menapaki selasar bangunan tersebut.
“Ada apa, Thores?”
“Apakah mereka akan baik-baik saja?”
Guru Shandong berusaha menangkap kegundahan dari mata Thores
dan tersenyum hangat.
“Kalian semua adalah murid-murid terbaik yang pernah dimiliki
padepokan ini. Ya, tentu mereka akan baik-baik saja, Anakku. Kawan-kawanku akan
menerima mereka dengan senang hati. Mereka pasti akan membawa banyak kebahagiaan
bagi kaum sihir di mana pun mereka berada. Seperti halnya keberadaanmu di
padepokan ini. Ayolah, kamu harus belajar dengan cepat agar aku bisa menikmati
masa pensiunku dengan segera.”
“Aku akan berusaha belajar dengan baik, Guru.”
“Oh, ya. Aku juga harus membiasakan diri memanggilmu dengan
nama barumu, Basalto. Kedengaran lebih megah, bukan?”
Thores alias Basalto mengangguk. Mereka pun kembali
melangkah.
“Udara pagi ini agak dingin, sepertinya bagus kalau kita singgah
di pondok Nyonya Gamigael dulu.
Dia akan senang hati membuatkan teh rempah hangat
untuk kita….”
*********
Peristiwa perpisahan tersebut kemudian menjadi sejarah baru
bagi keempat murid… dan juga kaum sihir.
Seperti yang sudah dibayangkan Guru Shandong, sepak terjang keempat
muridnya akan menjadi angin segar bagi peradaban kaum sihir.
Kesha yang kemudian dipanggil Emerald, cukup berhasil
mengembangkan ilmu sihir yang dipadukan dengan ilmu pengobatan herbal. Huria
yang kemudian dipanggil Ruby memesonakan kaum sihir di utara dengan kepiawaiannya
mengelola pikiran manusia.
Basaman yang kemudian dipanggil Ametys, berhasil menjadikan
desa-desa kaum sihir di pesisir timur menjadi daerah pertanian yang terkenal.
Tentu dia memanfaatkan dengan baik pengetahuan sihirnya untuk bersahabat dengan
alam. Thores sendiri, yang kemudian dipanggil Basalto, semakin hari semakin
mampu mengimbangi guru Shandong mengelola padepokan sihir. Guru Shandong bahkan
telah mendelegasikan sebagian besar pekerjaan hariannya kepada Basalto. Mulai
dari keperluan logistik sampai mengambil alih pelajaran sihir yang biasa
diajarkan Guru Shandong kepada para murid.
Setahun berlalu, nama keempat penyihir muda semakin terkenal
di kalangan kaum sihir. Banyak tetua-tetua kaum sihir yang membanding-bandingkan
mereka dengan Guru Shandong sendiri. Selain memiliki keahlian yang mumpuni
dalam aliran ilmu sihir yang mereka tekuni, keempatnya juga semakin terlihat
sebagai sosok penyihir yang kuat, rendah hati, cerdas dan bijaksana. Para tetua
seperti melihat kembali sosok kawan
mereka, Guru Shandong, dalam rupa yang lebih muda.
Belakangan ini, kebesaran nama mereka tidak hanya terdengar
di kalangan kaum sihir saja, tetapi juga manusia biasa. Emerald di Selatan,
Ruby di Utara, Basalto di Barat dan Ametys di timur Gopalagos. Kepiawaian keempatnya membantu manusia dengan
kekuatannya telah diketahui banyak orang.
Ada cerita tentang seorang raja yang sampai rela melakukan
perjalanan berkuda berhari-hari lamanya ke utara untuk mengantar putri yang dicintainya.
Puterinya menderita hilang ingatan dan menjadi gila. Penyebabnya adalah kekasihnya,
seorang Pangeran dari kerajaan tetangga, melukai hatinya dengan menikahi putri
kerajaan lain.
Perang antara dua kerajaan hampir tidak terhindarkan lagi.
Untunglah salah satu penasehat raja menyarankan agar Sang Putri dibawa ke
penyihir Ruby di utara Gopalagos. Siapa
tahu di tangan penyihir Ruby dia bisa mendapat kesembuhan, seperti
cerita-cerita penyembuhan penyakit serupa yang mereka dengar sebelumnya.
Selama dalam perjalanan, Sang Putri harus dikerangkeng dalam
kereta khusus dan dijauhkan dari benda-benda yang terbuat dari logam, karena
dia selalu ingin melukai dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan, Sang Raja terus
menahan kepedihan hatinya karena melihat keadaan Sang Putri yang
memprihatinkan.
Mereka melakukan perjalanan dua minggu lamanya, termasuk
melewati padang salju, tempat desa kaum sihir yang ditempati Ruby berada.
Saat rombongan itu baru saja memasuki perbatasan desa, Ruby
sudah berlari mendapatkan mereka. Raja dan rombongan terkejut, karena mendapati
penyihir yang diagung-agungkan itu ternyata masih muda belia. Ruby langsung
mengarahkan kakinya ke kereta Sang Putri dan menemukannya sedang meringkuk
menahan dingin dengan wajah penuh kepiluan dan keputusasaan. Bau pesing
menyeruak dari antara kerangkengnya.
“Dia sekarat, Yang Mulia,” ucapnya lirih. “Dia dibuat gila
oleh cinta. Ada seorang pria, memakai baju kebesaran, seorang pangeran
sepertinya. Apa yang terjadi?”
“Pria brengsek itu mengkhianati cintanya yang tulus,”
ayahnya menjawab dengan lemah, menahan amarah.
Ruby meniupkan kata-kata magis sehingga Sang Putri tertidur
tiba-tiba.
Prajurit dan beberapa utusan raja tersentak dibuatnya.
Begitu juga Ruby, tetapi Ruby menenangkan mereka.
“Dia tidak apa-apa, Tuan-tuan. Pikirannya terlalu lelah.
Untuk orang biasa, mantra itu baru bekerja setengah hari kemudian,” ucapnya.
“Mari bawa Sang Putri ke rumah paman Herdes. Aku akan berusaha membersihkan
pikirannya.”
----------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: www.deviantart.com
Komentar