Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [32-33]



Reuni sesaat itu akan segera berakhir.

Keesokan harinya, ketiga penyihir, Ruby, Emerald dan Ametys akan meninggalkan istana Basalto untuk kembali ke kerajaan mereka masing-masing.

Menu sarapan pagi ini sedikit unik. Mereka disuguhkan Korubak, udang khas sungai Kharrum yang dimasak dengan aneka rempah. Hidangan itu membuat mereka teringat kembali dengan pengalaman masa lalu saat masih menuntut ilmu di perguruan sihir tersebut.

Saat itu, Korubak adalah makanan mewah yang disajikan pada saat-saat tertentu saja, seperti saat menyambut angkatan murid yang baru atau menerima kunjungan tamu besar.

Nostalgia itu membuat suasana makan pagi berlangsung lebih hangat. Mereka berempat ditemani Viona terlihat lebih lahap dari hari-hari sebelumnya.

Untuk sejenak, Emerald bisa melupakan mimpinya anehnya semalam.
Tapi pada saat Basalto mengantar mereka meninggalkan ruang makan dan melewati jendela-jendela terbuka pada bagian atas istana, terlihat pemandangan yang membuat memori Emerald akan mimpinya muncul kembali.

Jauh di bawah sana, di halaman belakang padepokan, beberapa murid itu berdiri puluhan langkah di belakang sebuah batu gunung setinggi orang dewasa. Lalu secara bergantian mereka melontarkan energi sihir dari telapak tangan mereka ke arah batu gunung itu. Lamat-lamat terdengar suara dentuman demi dentuman karena benturan energi sihir dan bebatuan tersebut.

“Apa yang kamu lihat?” Ametys menyapa Emerald yang berhenti melangkah di belakang mereka.

“Mereka sedang mempelajari ilmu sihir tingkat tinggi dan mereka terlihat masih sangat muda,” sahut Emerald.

Basalto ikut melihat ke arah pandangan Emerald.

“Ya, kami membuat beberapa penyesuaian pelajaran beberapa waktu terakhir ini,” ujarnya.

“Mereka tingkat berapa?” tanya Ruby.

“Tingkat tiga.”

“Apa?” Emerald setengah memekik. Keheranan. Yang lain juga sepertinya menunjukkan ekspresi 
serupa.

“Kamu membuat lompatan yang sangat jauh, Kawan. Saat tingkat tiga dulu, kita masih belajar mengeja mantra-mantra dasar, bukan? Sekarang mereka telah belajar sihir untuk pertahanan diri. Aku penasaran, apa yang kalian ajarkan saat ini pada murid-murid ini berada pada tahun-tahun terakhir?” ucap Emerald lagi.

Basalto tersenyum kecil.

“Kalian mungkin tidak akan percaya. Aku mengajarkan hampir seluruh isi kitab sihir yang diberikan guru dahulu kepada kita.”

“Apakah mereka siap?” Ruby bertanya.

“Mereka siap, Kawan. Sangat siap. Malah aku berencana akan mengajarkan beberapa sihir pertahanan diri tingkat tinggi pada murid-murid tingkat akhir. Terutama bagi mereka yang tertarik menjadi prajurit kerajaan. Nantinya kalian pun tidak akan kesulitan jika membutuhkan calon-calon prajurit terbaik.”

“Wah, padepokan sepertinya banyak berubah semenjak kamu memimpin disini,” sambung Emerald.

“Apa rencanamu sudah pernah dibicarakan dengan guru sebelumnya?” tanya Ruby lagi.

“Tentu saja. Pada dasarnya, Guru setuju. Hanya sayang sekali, dia sudah pergi sebelum kami menuntaskan pembahasan mengenai materi pengajaran itu.”

“Aku sendiri jarang sekali membuka kitab sihir yang diberikan guru, kecuali membutuhkan beberapa mantra yang penting. Tapi kamu disini malah akan mengajarkan seluruh isi kitab kepada murid-murid?” sahut Ametys.

“Menurutku, pengetahuan sihir sehebat apapun tidak akan berguna jika tidak diajarkan dan dipelajari.”

“Benar juga. Aku jadi kepikiran untuk menurunkan seluruh pengetahuan sihir yang aku miliki kepada putriku,” sambung Ruby.

“Ya, tetapi sepertinya kamu harus banyak bersabar kawan,” Ametys memotongnya. “Sebelum fasih mengeja mantra, kamu harus sabar mengajarnya mengeja papa dan mama dengan benar dulu.”
Keempatnya penyihir itu pun tertawa.

“Ayolah kawan-kawan, matahari sudah semakin tinggi. Tadi kalian bilang mau berangkat segera. Kebiasaan suka menunda kalian tidak hilang-hilang juga rupanya,” Basalto kembali melanjutkan langkahnnya.

“…dan kamu masih tetap orang yang tidak sabaran,” sambung Emerald. Yang lain kembali tertawa. Tetapi pada akhirnya mereka mengikuti langkah Basalto juga.

****
Beberapa saat kemudian, mereka telah bersiap-siap di depan istana. Emerald sedang mengelus leher naga tunggangannya, Ametys dan Ruby mempersiapkan Er mereka.  Di belakang mereka, beberapa prajurit pengawal masing-masing juga melakukan hal yang sama.

Basalto mengantar mereka, ditemani Viona dan Daestar dalam gendongannya. Beberapa guru juga hadir untuk mengantar kepergian mereka.

Peristiwa ini seperti pengulangan pengalaman mereka 15 tahun yang lalu, saat mendiang guru Shandong melepas kepergian mereka dari padepokan.

Setelah berpamitan, ketiganya naik di atas tunggangan masing-masing. Sekali perintah, hewan-hewan tunggangan tersebut pun mengambil ancang-ancang dan dalam beberapa kali kepakan sayap mereka telah menjulang tinggi ke angkasa. Er-er yang ditunggangi prajurit pengawal masing-masing pun mengikuti dari belakang.

Basalto dan yang lainnya pun melambaikan tangan kepada rombongan tiga pemimpin kerajaan kaum sihir yang semakin jauh meninggalkan istana.

Semakin lama udara semakin terik, meninggalkan kisah di antara awan dan langit.

*****
Saat hari menjelang malam, Emerald dan lima orang prajurit yang bersamanya sudah memasuki angkasa kerajaannya.  Dari atas terlihat cahaya lampu-lampu pelita milik penduduk desa di sekitar istananya berkerlipan seperti bintang-bintang di langit.

Emerald mengarahkan naga tunggangannya untuk melakukan pendaratan di menara istananya. Puncak bangunan istana itu memang dibiarkan terbuka tanpa atap, karena emerald suka menikmati pemandangan dari atas situ. Selain itu, puncak menara juga bisa digunakan untuk mendaratkan naga atau hewan-hewan terbang lainnya.

Sebelum mendarat naga tunggangan Emerald menjerit keras, seolah meneariakkan kabar kepada seluruh penghuni istana kalau rombongan mereka telah sampai.

Di sekeliling tembok menara tersebut, dipasang obor-obor besar untuk menghalau kegelapan malam, sehingga Emerald tidak terlalu kesulitan melakukan pendaratan. Begitu pula dengan prajurit-prajurit yang mengikutinya.

Seorang wanita memakai mantel  tertutup rapat dari bawah ke atas sampai menyelubungi kepalanya seperti telah menanti-nanti kehadiran Emerald. Saat rombongan raja mendarat, angin keras yang ditimbulkan menghempas penutup kepalanya sehingga menyingkapkan rambut panjang wanita itu.

“Senang melihatmu lagi, Tabita,” Emerald menyapa duluan begitu turun dari naganya. Wanita bernama Tabita itu memberi hormat takzim.

Ekspresi Emerald berubah saat melihat lebih jelas roman Tabita.

“Apa yang terjadi, Tabita? Mengapa kamu kelihatan cemas?”

“Sesuatu yang mengerikan terjadi, Ratu. Kami… kami mohon maaf telah melalaikan tanggung jawab yang diberikan ratu kepada kami.”

“Apa yang terjadi?”

Tabita pun mengatakan yang sebenarnya.

Emerald memang benar-benar terkejut mendengarnya. Begitu pula dengan prajurit-prajurit yang sedang menurunkan perbekalan dari Er mereka.

Emerald pun berlari ke bawah, diikuti Tabita. Mereka menuju ke sebuah ruangan yang terletak di bagian tengah istana. Tidak seperti biasa, Emerald membiarkan begitu salam penghormatan dari prajurit atau beberapa murid yang kebetulan berpapasan dengannya melayang dibawa angin malam.
Saat ini pikirannya tidak bisa memikirkan hal lain selain sampai secepatnya ke ruangan tersebut. Begitu sampai, Emerald dan Tabita langsung menghambur ke dalam ruangan. Lemari-lemari penuh buku sihir dan buku pengetahuan umum menyambut mereka.

Salah satu dinding ruangan tersebut terbuka lebar, menyingkapan sebuah ruangan lain yang lebih kecil. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah benda seperti lemari  yang terbuat dari batu gunung kemerahan. Lemari itu juga memiliki pintu kecil yang telah terbuka lebar, memamerkan dirinya yang hampa. Sesuatu yang mestinya ada disitu hilang. Inilah yang mengejutkan semua orang.

“Berapa orang pelakunya, Tabita?”

“Sayangnya satu orang saja, Ratuku. Entah pria atau wanita, tapi yang jelas dia berilmu sangat tinggi. Perisai-perisai sihir di tempat ini bisa dipatahkannya dengan mudah, dia juga tidak menemui kesulitan membuka mantra-mantra pelindung yang telah dipasang. Dua belas prajurit terluka, dan dua lainnya sedang sekarat saat ini.”

“Apa dia… berpakaian serba hitam?”

Tabita terkejut.

“Anda… anda mengetahuinya?”

“Aku telah memimpikannya.”
“Mimpi?”

“Ya, Tabita. Memang aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi. Tapi aku tidak menyangka , ternyata aku memimpikan pencuri kitab sihir yang diberikan guru Shandong.”

---------


(bersambung)
ilustrasi gambar dari : www.deviantart.com

Komentar