Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Ataturk


Beberapa lampu neon box padam tiba-tiba, membuat ruangan jadi semakin gelap. Tapi entah mengapa udara terlihat merah seperti tembaga. Mestinya saat ini terdengar jeritan panik atau tangisan histeris orang-orang, tapi… aku tidak dapat mendengarnya. Gendang telingaku masih menggemakan ledakan-ledakan dahysat yang baru saja terjadi beberapa helaan napas yang lalu.

Oksigen seperti menipis, membuat paru-paruku harus bekerja lebih keras.


Aku pernah terperangkap di tengah-tengah kepungan pasukan pemberontak. Aku dan beberapa kawan  menembakkan isi senapan seperti orang kesetanan. Kami berjuang hanya untuk mengetahui kalau pertempuran itu nyaris jadi pertempuran terakhir kami. Rasanya malam ini peristiwa itu terjadi kembali. Sekat antara maut dan hidup jadi setipis helai rambut saat ini.

Aku menyeret kakiku yang hampir tak kurasakan lagi, menyusuri lantai bandara yang jadi kanvas maut dengan darah dan air mata sebagai cat dan kuasnya. Eternit berjatuhan dan bau mesiu memenuhi rongga penciuman. Mengingatkanku pada setiap detik yang kupertaruhkan di medan pertempuran dulu.

Seorang ibu menangis pilu sambil memeluk… jenazah anaknya, kurasa. Gadis berjaket merah. Matanya tertutup dalam-dalam, namun dari garis-garis wajahnya aku yakin dia pergi dalam kesakitan yang sangat.

Setelah itu aku melihat tubuh-tubuh bergelimang darah, terbujur kaku. Seorang bapak berbaju safari, dua orang remaja, seorang ibu yang mendekap kopornya, seorang lagi, sepertinya petugas bandara yang terhimpit besi metal detector.

Lalu seorang petugas yang lain dengan wajah menghitam, duduk sambil meneriaki HT-nya. Ah, aku mengenalnya.Yusuf, keponakan sepupuku. Beberapa saat yang lalu kami masih sempat bertegur sapa.
Aku pun memanggil namanya. Dia tidak mendengar. Ternyata seluruh telinga kirinya dipenuhi darah. Tapi aku bisa mendengar samar-samar dia meneriakkan sesuatu.

“Bom bunuh diri!”

Rupanya itu yang terjadi. Aku pun memejamkan mata dan berteriak kuat-kuat memaki langit-langit bandara. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Entah apa yang membuatku menjadi begitu melankolis.

Putriku saat ini sedang menunggu di Paris. Ya, aku harus segera memberinya kabar bahwa…
bahwa…

Oh tidak, jangan!

Oksigen seperti makin menipis dan aku belum menemukan handphoneku. Udara sekarang malah jadi seperti beracun. Paru-paruku…

Ya Tuhan! Pantas saja aku kesulitan. Rupanya aku bernapas dengan separuh paru-paru, separuhnya lagi tertinggal di belakang sana.

Aku jadi begitu ringan bahkan setelah gadis itu, gadis berjaket merah, menarik tanganku untuk menuntunku pulang…

pulang ke rumah yang belum pernah kutinggalkan. 


-----


ilustrasi gambar dari: ilustrasi gambar dari: www.slate.com

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com

 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Ryan M. mengatakan…
ugh, pilu sekali...
diar herdyan mengatakan…
Berdoa untuk mereka di Turki...
Lis Suwasono mengatakan…
Duuuh... 😢😢😢
pical gadi mengatakan…
:(
Makasih sudah hadir mas Ryan
pical gadi mengatakan…
Benar bung Diar. Selain doa, saya juga mencoba menggoreskan keprihatinan lewat fiksi ini
pical gadi mengatakan…
:(
Makasih sudah hadir bu Lis
Unknown mengatakan…
Fiksi yang menggambarkan bandara Ataturk. Bagus sekali, kak Pical, salam hangat :D
pical gadi mengatakan…
Makasih Ari. Salam 😊