Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Beberapa lampu neon
box padam tiba-tiba, membuat ruangan jadi semakin gelap. Tapi entah mengapa
udara terlihat merah seperti tembaga. Mestinya saat ini terdengar jeritan panik
atau tangisan histeris orang-orang, tapi… aku tidak dapat mendengarnya. Gendang
telingaku masih menggemakan ledakan-ledakan dahysat yang baru saja terjadi
beberapa helaan napas yang lalu.
Oksigen seperti menipis,
membuat paru-paruku harus bekerja lebih keras.
Aku pernah terperangkap di tengah-tengah kepungan pasukan
pemberontak. Aku dan beberapa kawan
menembakkan isi senapan seperti orang kesetanan. Kami berjuang hanya
untuk mengetahui kalau pertempuran itu nyaris jadi pertempuran terakhir kami.
Rasanya malam ini peristiwa itu terjadi kembali. Sekat antara maut dan hidup
jadi setipis helai rambut saat ini.
Aku menyeret kakiku yang hampir tak kurasakan lagi,
menyusuri lantai bandara yang jadi kanvas maut dengan darah dan air mata
sebagai cat dan kuasnya. Eternit berjatuhan dan bau mesiu memenuhi rongga
penciuman. Mengingatkanku pada setiap detik yang kupertaruhkan di medan
pertempuran dulu.
Seorang ibu menangis pilu sambil memeluk… jenazah anaknya,
kurasa. Gadis berjaket merah. Matanya tertutup dalam-dalam, namun dari
garis-garis wajahnya aku yakin dia pergi dalam kesakitan yang sangat.
Setelah itu aku melihat tubuh-tubuh bergelimang darah,
terbujur kaku. Seorang bapak berbaju safari, dua orang remaja, seorang ibu yang
mendekap kopornya, seorang lagi, sepertinya petugas bandara yang terhimpit besi
metal detector.
Lalu seorang petugas yang lain dengan wajah menghitam, duduk
sambil meneriaki HT-nya. Ah, aku mengenalnya.Yusuf, keponakan sepupuku.
Beberapa saat yang lalu kami masih sempat bertegur sapa.
Aku pun memanggil namanya. Dia tidak mendengar. Ternyata
seluruh telinga kirinya dipenuhi darah. Tapi aku bisa mendengar samar-samar dia
meneriakkan sesuatu.
“Bom bunuh diri!”
Rupanya itu yang terjadi. Aku pun memejamkan mata dan
berteriak kuat-kuat memaki langit-langit bandara. Air mataku mengalir tanpa
bisa kutahan lagi. Entah apa yang membuatku menjadi begitu melankolis.
Putriku saat ini sedang menunggu di Paris. Ya, aku harus
segera memberinya kabar bahwa…
bahwa…
Oh tidak, jangan!
Oksigen seperti makin menipis dan aku belum menemukan handphoneku. Udara sekarang malah jadi
seperti beracun. Paru-paruku…
Ya Tuhan! Pantas saja aku kesulitan. Rupanya aku bernapas
dengan separuh paru-paru, separuhnya lagi tertinggal di belakang sana.
Aku jadi begitu ringan bahkan setelah gadis itu, gadis berjaket
merah, menarik tanganku untuk menuntunku pulang…
pulang ke rumah yang belum pernah kutinggalkan.
-----
ilustrasi gambar dari: ilustrasi gambar dari: www.slate.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
Komentar
Makasih sudah hadir mas Ryan
Makasih sudah hadir bu Lis