Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Mengecup Keabadian


Saat matamu terpejam, tertidur dalam, dan jiwamu nyaris menyentuh awan-awan, pandanglah ragamu yang rapuh di bawah sana. Dia terkapar tanpa sekat dan tanpa perlindungan. Makhluk-makhluk malam sanggup mengendus darah perawannya dari jarak puluhan mil. Mereka dengan senang hati mereguknya. Peri-peri hitam pun bersembunyi menunggu lampu kamar dipadamkan sebelum memangsanya.

Tapi saat itu terjadi tak usah takut, toh jiwamu ada di atas sini di antara langit. Mereka makhluk-makhluk yang menggerayangi bumi seperti ular beludak. Mereka tidak bisa menyentuhmu.

Mari aku antar ke langit ke tujuh, tempat matahari tidak pernah terbenam agar kamu tidak perlu takut lagi pada malam. Tempat tanpa raga yang rapuh, hanya taman bunga untuk jiwa-jiwa yang memilih  jalan keabadian.  Tempat pelangi dapat berpendar tanpa menunggu hujan menyapa lebih dahulu. 

Lalu aku akan mengantarmu ke sungai kebijaksanaan tempat setiap peri dan manusia menemukan arti dari nama-nama mereka. Kamu penasaran, bukan?

Apa?

Kamu lebih memilih di bawah sana? Di tempat yang fana dan penuh kepahitan? Di tempat malam berbagi tahta dengan siang?

Baiklah.

Kamu memang masih manusia sejati.


Dosa-lah yang membuat duniamu tetap berputar. Dan sayang sekali, kamu tidak dapat menemukannya di atas sini.

---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari: pinterest.com



Baca Juga:

Musim Hujan Kali Ini



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mampirnya mas. Maap baru balas komennya