Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Jika melukis di atas kanvas menggunakan imajinasi, cat, air,
kuas dan hati, melukis langit cukup menggunakan imajinasi dan hati. Jika hati
sedang dirundung sedih saat melukis, maka akan kubuat langit penuh awan-awan
mendung, memuntir, menyaruk dan dan tersebar ke segala arah. Jika sebaliknya
yang terjadi, aku akan membuat langit sebiru lautan, awan-awan seperti kapas
lentur yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Kelinci, permen lolipop, hati dan lainnya.
Jika sedang marah aku akan memenuhi langit dengan awan-awan hitam dan
cambuk-cambuk halilintar.
Jika bertemu lukisan pelukis langit lainnya, maka aku harus
berbagi wilayah. Jadi tidak usah heran, jika separuh langit cerah ceria, separuh
lagi berawan tipis, atau malah penuh awan mendung dan halilintar.
Sayangnya kemampuan
melukis langit hanya dimiliki oleh sedikit warga Ephamus, kota di atas awan, tempat kaum kami tinggal saat ini.
Jumlah pelukis langit juga semakin menyusut pada setiap generasi. Dari ribuan
jumlah warga Ephamus, setahuku tinggal belasan saja pelukis langit, termasuk
aku dan ayah. Ya, bakat melukis langit itu turun temurun dalam keluargaku.
Tapi dua tahun yang lalu ayah wafat karena penyakit langka
yang menggerogoti jantungnya sehingga saat ini aku menggantikannya di tahta
sebagai pemimpin Ephamus. Memang sudah tradisi, hanya mereka yang memiliki darah
pelukis langit yang dapat memimpin kota Ephamus.
Kami adalah kaum setengah dewa yang belum mendapat tempat di
Olympus tempat dewa dan dewi tinggal
dan mengabadikan diri mereka dengan puja-puji manusia. Kesempurnaan kami belum
setingkat dewa tapi masih lebih tinggi dari manusia jelata. Kami bukan immortal tapi jauh lebih abadi dibanding
manusia biasa.
Hanya saja ada masalah besar yang sedang melanda peradaban
kami saat ini. Jumlah penghuni Ephamus terus berkurang. Yang mampu
menyempurnakan ilmu dan semedi menjadi dewa akan berpindah ke kota Olympus,
tetapi itu hanya sedikit jumlahnya. Dari seribu penghuni Ephamus, paling hanya
dua atau tiga orang yang berhasil, mereka yang benar-benar gigih. Itu pun hanya
terjadi beberapa puluh tahun sekali.
Lebih banyak yang memilih menjadi manusia biasa, kembali
kepada kefanaan. Sekalipun tidak abadi, bumi memang penuh keindahan. Perasaan
cinta sebagai manusia bertumbuh dengan alami, liar tapi penuh pesona. Egois
tapi soliter. Tidak bisa disangkal inilah yang membunuh keabadian manusia sejak
dulu kala. Manusia adalah pemuja eros, berbeda dengan kami yang sangat
menjunjung tinggi agape.
Mereka yang turun ke bumi setelah matahari terbit akan luruh
kesempurnaannya, menjadi manusia biasa. Ada semacam kutuk bagi warga Ephamus
jika masih berada di bumi saat matahari telah bersinar.
Jadi warga Ephamus yang ingin menjelajahi bumi, turun pada
saat malam gelap dengan atau tanpa purnama. Menjelang subuh mereka harus naik
kembali ke atas Ephamus, atau kutuk kefanaan akan menimpa diri mereka. Kutuk
ini berlaku bagi siapa saja, termasuk para pelukis langit sekalipun.
Jadi Ibu selalu mengingatkan hal tersebut. Di bahuku saat
ini terletak tanggungjawab besar memimpin Ephamus dengan jujur dan adil. Dia
tidak ingin aku tergoda untuk berpindah dunia ke dunia bawah, tanah para
manusia.
**
Sayangnya, seorang gadis manis dengan rambut semerah langit
senja dan senyum setulus dewi cinta berhasil mencuri perhatianku. Bukan, bukan
keindahannya. Tapi tarian tangannya di atas kanvas itu. Dia juga seorang
pelukis, tapi sebagai manusia dia hanya mampu melukis menggunakan kuas, cat dan
kanvas.
Dia tinggal di rumah kayu yang asri di tepi sebuah danau. Di
sekitar rumahnya hijau rerumputan menghampar, diselingi dengan rumpun bunga Krisan
dan Anyelir. Dengan suasana sedamai itu, tidak heran dia bisa mendapatkan
inspirasi yang tiada habis-habisnya. Seperti seorang pengelana padang gurun
yang didera dahaga dan bertemu oasis yang besar.
Setiap pagi merekah, atau sebelum senja menutup hari, dia
selalu terlihat menyapukan cat hijau, putih biru, merah, kelabu ke kanvas di
atas balkon kamarnya. Dia membiarkan angin lembah menerbangkan rambut merahnya
kesana kemari. Dia tidak peduli pada apapun saat sedang melukiskan keindahan,
seperti menyerahkan seluruh jiwanya pada kanvas di hadapannya. Selama ini aku
memandangnya diam-diam dari atas Ephamus. Semua pelukis langit memiliki penglihatan
yang bahkan mampu menembus kedalaman lautan.
Sampai pada suatu malam purnama yang indah aku meninggalkan
istana diam-diam, menunggang Dophan,
merpati raksasa yang bisa mengubah warna bulu-bulunya jadi sebiru langit, atau
sekelam langit malam.
**
Kakiku menginjak lantai kayu dengan hati-hati agar tak
menimbulkan derak yang bisa membangunkan gadis itu. Ada dua lukisan yang
dibiarkan tergeletak di tepi balkon, keduanya ditutupi kain hitam lebar. Sekali
menyibak kain penutup, nampaklah wajah asli kedua lukisan. Keduanya adalah
lukisan tentang langit. Yang satu langit malam dengan purnama berwarna perak,
yang satu lagi langit fajar saat matahari baru menyapa sebagian padang rumput.
Ah, aku langsung terhipnotis oleh lukisan-lukisan itu. Tapi aku penasaran untuk
melangkah lebih jauh.
Satu-satunya penerangan di tempat itu berasal dari lampu
pelita di dalam kamar yang mengintip dari sela-sela jendela. Pintu yang
menghubungkan balkon dengan kamar gadis itu
rupanya tidak terkunci jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah… dan
terperangah.
(bersambung)
---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com ilustrasi gambar dari http://kabarmakkah.com
Lanjutan Cerbung:
Pelukis Langit: Kefanaan yang Indah
Mengecup Keabadian
Komentar