Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Pelukis Langit: Gadis Berambut Merah



Jika melukis di atas kanvas menggunakan imajinasi, cat, air, kuas dan hati, melukis langit cukup menggunakan imajinasi dan hati. Jika hati sedang dirundung sedih saat melukis, maka akan kubuat langit penuh awan-awan mendung, memuntir, menyaruk dan dan tersebar ke segala arah. Jika sebaliknya yang terjadi, aku akan membuat langit sebiru lautan, awan-awan seperti kapas lentur yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Kelinci, permen lolipop, hati dan lainnya. Jika sedang marah aku akan memenuhi langit dengan awan-awan hitam dan cambuk-cambuk halilintar.


Jika bertemu lukisan pelukis langit lainnya, maka aku harus berbagi wilayah. Jadi tidak usah heran, jika separuh langit cerah ceria, separuh lagi berawan tipis, atau malah penuh awan mendung dan halilintar.

Sayangnya kemampuan melukis langit hanya dimiliki oleh sedikit warga Ephamus, kota di atas awan, tempat kaum kami tinggal saat ini. Jumlah pelukis langit juga semakin menyusut pada setiap generasi. Dari ribuan jumlah warga Ephamus, setahuku tinggal belasan saja pelukis langit, termasuk aku dan ayah. Ya, bakat melukis langit itu turun temurun dalam keluargaku.

Tapi dua tahun yang lalu ayah wafat karena penyakit langka yang menggerogoti jantungnya sehingga saat ini aku menggantikannya di tahta sebagai pemimpin Ephamus. Memang sudah tradisi, hanya mereka yang memiliki darah pelukis langit yang dapat memimpin kota Ephamus.

Kami adalah kaum setengah dewa yang belum mendapat tempat di Olympus tempat dewa dan dewi tinggal dan mengabadikan diri mereka dengan puja-puji manusia. Kesempurnaan kami belum setingkat dewa tapi masih lebih tinggi dari manusia jelata. Kami bukan immortal tapi jauh lebih abadi dibanding manusia biasa.

Hanya saja ada masalah besar yang sedang melanda peradaban kami saat ini. Jumlah penghuni Ephamus terus berkurang. Yang mampu menyempurnakan ilmu dan semedi menjadi dewa akan berpindah ke kota Olympus, tetapi itu hanya sedikit jumlahnya. Dari seribu penghuni Ephamus, paling hanya dua atau tiga orang yang berhasil, mereka yang benar-benar gigih. Itu pun hanya terjadi beberapa puluh tahun sekali.

Lebih banyak yang memilih menjadi manusia biasa, kembali kepada kefanaan. Sekalipun tidak abadi, bumi memang penuh keindahan. Perasaan cinta sebagai manusia bertumbuh dengan alami, liar tapi penuh pesona. Egois tapi soliter. Tidak bisa disangkal inilah yang membunuh keabadian manusia sejak dulu kala. Manusia adalah pemuja eros, berbeda dengan kami yang sangat menjunjung tinggi agape.

Mereka yang turun ke bumi setelah matahari terbit akan luruh kesempurnaannya, menjadi manusia biasa. Ada semacam kutuk bagi warga Ephamus jika masih berada di bumi saat matahari telah bersinar.

Jadi warga Ephamus yang ingin menjelajahi bumi, turun pada saat malam gelap dengan atau tanpa purnama. Menjelang subuh mereka harus naik kembali ke atas Ephamus, atau kutuk kefanaan akan menimpa diri mereka. Kutuk ini berlaku bagi siapa saja, termasuk para pelukis langit sekalipun.
Jadi Ibu selalu mengingatkan hal tersebut. Di bahuku saat ini terletak tanggungjawab besar memimpin Ephamus dengan jujur dan adil. Dia tidak ingin aku tergoda untuk berpindah dunia ke dunia bawah, tanah para manusia.

**
Sayangnya, seorang gadis manis dengan rambut semerah langit senja dan senyum setulus dewi cinta berhasil mencuri perhatianku. Bukan, bukan keindahannya. Tapi tarian tangannya di atas kanvas itu. Dia juga seorang pelukis, tapi sebagai manusia dia hanya mampu melukis menggunakan kuas, cat dan kanvas.

Dia tinggal di rumah kayu yang asri di tepi sebuah danau. Di sekitar rumahnya hijau rerumputan menghampar, diselingi dengan rumpun bunga Krisan dan Anyelir. Dengan suasana sedamai itu, tidak heran dia bisa mendapatkan inspirasi yang tiada habis-habisnya. Seperti seorang pengelana padang gurun yang didera dahaga dan bertemu oasis yang besar.

Setiap pagi merekah, atau sebelum senja menutup hari, dia selalu terlihat menyapukan cat hijau, putih biru, merah, kelabu ke kanvas di atas balkon kamarnya. Dia membiarkan angin lembah menerbangkan rambut merahnya kesana kemari. Dia tidak peduli pada apapun saat sedang melukiskan keindahan, seperti menyerahkan seluruh jiwanya pada kanvas di hadapannya. Selama ini aku memandangnya diam-diam dari atas Ephamus. Semua pelukis langit memiliki penglihatan yang bahkan mampu menembus kedalaman lautan.

Sampai pada suatu malam purnama yang indah aku meninggalkan istana diam-diam, menunggang Dophan, merpati raksasa yang bisa mengubah warna bulu-bulunya jadi sebiru langit, atau sekelam langit malam.

**

Kakiku menginjak lantai kayu dengan hati-hati agar tak menimbulkan derak yang bisa membangunkan gadis itu. Ada dua lukisan yang dibiarkan tergeletak di tepi balkon, keduanya ditutupi kain hitam lebar. Sekali menyibak kain penutup, nampaklah wajah asli kedua lukisan. Keduanya adalah lukisan tentang langit. Yang satu langit malam dengan purnama berwarna perak, yang satu lagi langit fajar saat matahari baru menyapa sebagian padang rumput. Ah, aku langsung terhipnotis oleh lukisan-lukisan itu. Tapi aku penasaran untuk melangkah lebih jauh.


Satu-satunya penerangan di tempat itu berasal dari lampu pelita di dalam kamar yang mengintip dari sela-sela jendela. Pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar gadis itu  rupanya tidak terkunci jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah… dan terperangah.

(bersambung)

---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari http://kabarmakkah.com

Lanjutan Cerbung:


Pelukis Langit: Kefanaan yang Indah

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Mengecup Keabadian









 photo Jangancopasing.jpg

Komentar