Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bulan setengah purnama sedang bercakap-cakap dengan senja
yang bermuram durja. Dengan setengah cahaya seperti ini, rembulan jadi lebih mirip
lampion yang nyaris padam daripada lampu langit yang gagah perkasa. Tapi dia
tetap berusaha menghibur senja yang kehilangan kerlip bintang-bintangnya, sejak
ditinggalkan kekasih.
Sebentar lagi keduanya akan saling mengucapkan salam
perpisahan yang pahit. Rembulan beranjak ke timur sedangkan senja beranjak ke
barat, entah kapan bertemu kembali.
Kegetiran yang sama sedang melanda hati lelaki dan wanita di
bawah awan berwarna tembaga. Awan-awan itu sedang menyeret selimut malam kembali
ke langit.
Air mata meleleh di sudut mata wanita muda belia. Syal merah
hati melingkari leher jenjangnya. Taman remang-remang tidak bisa menyembunyikan
paras cantiknya yang kini ditutupi mendung kelabu.
“Mas Bram tahu kan, aku tidak akan memaksa. Seperti halnya
aku tidak pernah memaksa Mas jatuh cinta kepadaku,” tuturnya getir.
Lalu sepi menghanyutkan kalbu ke tengah rona senja sebelum
lelaki yang dipanggil Bram itu buka suara.
“Ya, aku tahu. Tapi pertemuan kita ini membuktikan kamu belum
rela melepasku, Ambar. Aku seperti musafir yang baru saja menemukan oasis, tapi
kamu jadi angin yang membawaku kembali sini, ke tengah-tengah padang gurun tak
bertepi.”
Bram berdiri dari kursi taman dan memandang wajah Ambar
lekat-lekat, seolah mencari sesuatu yang hilang di situ. Dia tidak akan
menemukannya, sebab kini Ambar sedang menyembunyikan ketegarannya dalam-dalam.
Ambar meraih tangan Bram. Tapi Bram perlahan-lahan
melepasnya kembali.
“Kita sudah terlalu jauh melangkah. Dan… aku tidak ingin
semakin jauh.”
Ambar terisak. Bram kebingungan, tapi dia berusaha tidak membiarkan
hatinya larut dalam suasana melankolis ini sedikitpun. Beberapa helaan napas kemudian,
Ambar berdiri dan menjajari Bram.
Mata keduanya beradu.
“Kalau begitu, aku ingin memastikan oasis itu bukan aku,
Mas. Atau gadis-gadis lain yang melakukan kesalahan yang sama denganku. Aku
rela kehilangan Mas Bram, asal oasis itu benar-benar Mbak Sintia.”
Bram tertegun, lalu tahu-tahu tangannya tergerak untuk
menyibak ujung rambut Ambar agar rona merah senja menyapu paras cantik itu
sepuasnya.
“Aku telah sampai pada titik itu, Ambar. Oasis itu
benar-benar Sintia dan anak-anak yang dititipkan pada kami.”
Air mata Ambar terus meleleh. Dia tahu, sebentar lagi mereka
akan saling mengucapkan salam perpisahan yang pahit. Dia beranjak ke timur sedangkan
Bram beranjak ke barat, entah kapan bertemu kembali. Maka sebelum Bram
benar-benar berpaling, Ambar menahannya dengan kata-kata,
“Tidak adakah kecupan perpisahan untukku?”
Kening Bram mengernyit. Ujian
apa lagi yang diajukan Ambar kali ini?
“Hanya sebuah kecupan dan… aku akan pergi selamanya dari
kehidupanmu, Mas.”
Bram ragu-ragu. Tapi sesaat kemudian, bibir keduanya
berpagutan.
mesra…
dalam…
jiwa keduanya berpadu…
sebelum rona senja menyapa sebilah pisau yang dikeluarkan
Ambar dari bawah kardigannya. Pisau itu pun dihujamkan dengan deras.
---
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Cawan Pengantin
Komentar