Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Aku dan Kewarasanku



Sesekali gerimis menampar kewarasanku, memaksanya meninggalkan batok kepala, satu-satunya harta yang kumiliki saat ini. Tapi tidak akan lama. Lihat saja, sebentar lagi hujan akan membelanya seperti pengacara yang membela pesakitan, menegaskan kembali kalau dialah pemilik sah batok kepalaku ini.
Matahari tidak terlalu bisa diandalkan. Dia hanya menyanjung kewarasanku jika dia butuhkan, jika tidak dia akan pergi dengan cuek, membiarkan gerimis atau hujan mengambil alih.

Aku sangat mengenali sudut kota yang ini. Kewarasanku sependapat. Setiap lekuk dan persimpangan jalan mengingatkan aku pada masa lalu yang tidak begitu bahagia. Kendati gerimis berjatuhan dari atas kota dan membangkitkan aroma petrichor dari balik aspal, aku masih bisa mengingat aroma dari warung ikan bakar bahkan keringat bapak tua penjaja ikan bakar yang akan nampak puluhan langkah lagi setelah tikungan.

Aku punya banyak kenangan di warung ikan bakar itu. Bukan saja karena harganya yang murah meriah, tapi karena senyum kenyang yang tersungging saat kita berdua menuntaskan dua porsi ikan bakar dan kamu mulai berceloteh lagi tentang tugas kalkulus yang belum selesai atau dosen pembunuh yang tidak hadir. Ah, masa lalu yang tidak begitu bahagia.

Hujan mulai menderas.

Warung ikan bakar ternyata telah berganti dengan toko isi ulang air mineral. Di sana, rumahmu terletak beberapa rumah lagi di balik pertigaan itu. Irama jantungku mulai meninggi, seolah ingin ikut menampar kewarasanku. Seiring langkahku, iramanya juga semakin cepat.

“Orang gila!... orang gila!” riuh anak-anak dari gardu ronda. Tapi aku tidak peduli, suatu saat mereka juga akan menemukan kewarasannya.

Jantungku meloncat keluar, ketika aku sampai di pertigaan dan dari kejauhan aku melihat tenda pengantin di depan rumahmu. Untunglah hujan bertindak cepat memasukannya kembali, seperti kepala polisi menjebloskan pesakitan ke dalam sel.

Beberapa lelaki dan wanita berpenampilan gagah memakai payung warna-warni, masuk ke dalam mobil-mobil cantik. Lalu mobil-mobil cantik itu bergantian melintasiku, menghempaskan genangan air dan pecahan memori. Aku tidak akan pernah lupa senyuman itu, kendati bedak tebal dan kegilaan telah mengubah wajahmu.

Hujan deras telah pergi berganti gerimis yang sesekali menampar kewarasanku. Tapi tidak akan lama.
Aku melangkahkan kaki menuju sudut kota yang lain mencari potongan-potongan memori yang terserak dimakan peradaban. Tapi kali ini kewarasanku tidak setuju. Dia merasa bersalah karena sudah terlalu lama membuatku lelah lahir dan batin. Dia ingin segera pergi agar aku kembali menjadi gila seperti orang kebanyakan.

---

ilustrasi gambar dargambar dari https://unsplash.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Musim Hujan Kali Ini







Komentar