Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sesekali gerimis menampar kewarasanku, memaksanya
meninggalkan batok kepala, satu-satunya harta yang kumiliki saat ini. Tapi
tidak akan lama. Lihat saja, sebentar lagi hujan akan membelanya seperti
pengacara yang membela pesakitan, menegaskan kembali kalau dialah pemilik sah
batok kepalaku ini.
Matahari tidak terlalu bisa diandalkan. Dia hanya menyanjung
kewarasanku jika dia butuhkan, jika tidak dia akan pergi dengan cuek,
membiarkan gerimis atau hujan mengambil alih.
Aku sangat mengenali sudut kota yang ini. Kewarasanku sependapat.
Setiap lekuk dan persimpangan jalan mengingatkan aku pada masa lalu yang tidak
begitu bahagia. Kendati gerimis berjatuhan dari atas kota dan membangkitkan
aroma petrichor dari balik aspal, aku
masih bisa mengingat aroma dari warung ikan bakar bahkan keringat bapak tua penjaja
ikan bakar yang akan nampak puluhan langkah lagi setelah tikungan.
Aku punya banyak kenangan di warung ikan bakar itu. Bukan
saja karena harganya yang murah meriah, tapi karena senyum kenyang yang
tersungging saat kita berdua menuntaskan dua porsi ikan bakar dan kamu mulai
berceloteh lagi tentang tugas kalkulus yang belum selesai atau dosen pembunuh yang tidak hadir. Ah, masa lalu
yang tidak begitu bahagia.
Hujan mulai menderas.
Warung ikan bakar ternyata telah berganti dengan toko isi
ulang air mineral. Di sana, rumahmu terletak beberapa rumah lagi di balik
pertigaan itu. Irama jantungku mulai meninggi, seolah ingin ikut menampar
kewarasanku. Seiring langkahku, iramanya juga semakin cepat.
“Orang gila!... orang gila!” riuh anak-anak dari gardu
ronda. Tapi aku tidak peduli, suatu saat mereka juga akan menemukan
kewarasannya.
Jantungku meloncat keluar, ketika aku sampai di pertigaan dan
dari kejauhan aku melihat tenda pengantin di depan rumahmu. Untunglah hujan
bertindak cepat memasukannya kembali, seperti kepala polisi menjebloskan pesakitan
ke dalam sel.
Beberapa lelaki dan wanita berpenampilan gagah memakai
payung warna-warni, masuk ke dalam mobil-mobil cantik. Lalu mobil-mobil cantik itu
bergantian melintasiku, menghempaskan genangan air dan pecahan memori. Aku tidak
akan pernah lupa senyuman itu, kendati bedak tebal dan kegilaan telah mengubah
wajahmu.
Hujan deras telah pergi berganti gerimis yang sesekali
menampar kewarasanku. Tapi tidak akan lama.
Aku melangkahkan kaki menuju sudut kota yang lain mencari
potongan-potongan memori yang terserak dimakan peradaban. Tapi kali ini
kewarasanku tidak setuju. Dia merasa bersalah karena sudah terlalu lama
membuatku lelah lahir dan batin. Dia ingin segera pergi agar aku kembali
menjadi gila seperti orang kebanyakan.
---
ilustrasi gambar dari gambar dari https://unsplash.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Musim Hujan Kali Ini
pertama kali ditayangkan di kompasiana
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Musim Hujan Kali Ini
Komentar