Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Coklat Terakhir




Delia, siswi paling cantik di SMU Nusantara sedang kebingungan. Dia harus menjatuhkan pilihan antara Dodi atau Gilang. Kedua cowok itu layak mendapatkan hatinya karena mereka punya pesona masing-masing. Dodi itu cowok yang lucu, periang dan tidak sombong sedangkan Gilang itu smart, trendy dan gaul. Keduanya cukup tampan dan baik hati. Cewek manapun pasti tidak bisa menolak pesona keduanya.

Beberapa hari lagi 14 Februari tiba. Sebelum hari itu, dia sudah harus memutuskan akan menerima Dodi atau Gilang sebagai pacarnya.

Setelah menimbang-nimbang dan berpikir cukup lama,  dia pun menemukan cara untuk menguji keduanya. Mereka akan diberi pertanyaan sederhana dan siapa yang jawabannya paling menyentuh hati, akan dipilihnya menjadi pacar.

Suatu siang, di sela waktu istirahat sekolah, Delia membawa sebatang cokelat di depan Dodi lalu bertanya, “Dodi, apa yang bakal kamu lakukan kalau ini adalah cokelat terakhir di dunia ini?”
Dodi terheran-heran dengan pertanyaan itu, tapi dia tetap menjawabnya juga.

“Kalau ini coklat terakhir, saya akan menyimpannya baik-baik, Del, kalau perlu ditaruh di kotak kaca anti peluru, anti api, anti badai agar tidak mudah dicuri atau rusak!”

“Buat apa?” Delia mengernyitkan kening.

“Ya, agar orang-orang yang masih hidup setelahnya masih bisa tetap mengenang coklat itu. Coklat kan identik dengan cinta, Del,” Dodi tersenyum. “… jangan sampai cinta hilang dari dunia ini.”

Delia ikut tersenyum, “Terima kasih, ya, jawaban kamu manis sekali,” sahut Delia.

Pada siang yang lain, Delia membawa coklat itu di depan Gilang lalu mengajukan pertanyaan yang sama.

“Gilang, apa apa yang bakal kamu lakukan kalau ini adalah cokelat terakhir di dunia ini?”

“Cokelat terakhir di dunia? Ada-ada saja kamu, Del!”

Udah, dijawab saja.”

“Mm… Oke. Kalau ini adalah coklat terakhir, saya akan menghadiahkannya buat kamu, Del.”

“Buat apa?” Delia mengernyitkan kening.

“Terserah mau kamu apakan coklatnya. Yang jelas, dengan memberi coklat terakhir itu, saya pengen kamu jadi gadis terakhirku,” sahut Gilang. Bintang-bintang nampak di matanya.

“Ah, jawaban kamu manis sekali, Gilang. Terima kasih, ya,” balas Delia lalu berlalu dari situ. Dia akan menimbang-nimbang jawaban kedua cowok itu.

Baru beberapa langkah kemudian, dia bertemu Rano, teman sekelasnya.

“Kamu kasih pertanyaan yang sama untuk Gilang, ya?”

Delia terkejut, “Kamu nguping, ya?”

“Tidak, kok. Saya tidak sengaja mendengar kamu ngobrol sama Dodi kemarin. Terus, barusan aku lihat kamu juga ngobrol sama Gilang membawa coklat yang sama.”

Delia mengangguk-angguk.

“Oke, Rano,” dia bermaksud melewati Rano tapi Rano bergeming.

“Ada apa, Rano?”

“Kamu tidak tertarik mendengar pendapatku tentang coklat terakhir itu?”

Delia terkejut lagi. Tapi dia penasaran juga, “Memangnya apa pendapat kamu?”

“Kalau coklat di tangan kamu itu coklat terakhir, saya akan …” Rano terdiam beberapa saat. “…makan coklatnya sampai habis!”

“Haah! Kenapa?”

“Kalau coklat itu masih ada, artinya valentine akan terus dirayakan. Kalau coklatnya tidak ada lagi, maka … good bye, valentine. Kamu tahu, setiap kali valentine datang, saya akan terus menjadi bahan ejekan mereka karena sepertinya saya satu-satunya cowok di sekolah ini yang tidak punya pacar,” suara Rano semakin lirih. Dia tertunduk putus asa. “… saya tidak ingin valentine datang lagi.”

Delia tercekat.

Dia lalu memperhatikan Rano lekat-lekat. Cowok ini memang tidak setampan Gilang atau Dodi, tapi wajahnya bersih dan hidungnya cukup mancung. Delia kemudian menyadari selama ini, betapa Rano adalah sahabat yang baik. Saat Delia kehabisan tinta pulpen, Rano meminjamkannya. Saat Delia kehilangan ayah tahun lalu, Rano-lah teman yang pertama mengungkapkan belasungkawa, saat Delia ikut ekskul sampai malam, Rano yang sering mengantarnya pulang. Masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang tidak disadari Delia selama ini. Hatinya pun tergerak.

“Del, kok diem?” tanya Rano.

Mata Delia berkaca-kaca lalu menatap Rano dalam-dalam. Tanpa sadar, coklat terakhir jatuh dari genggamanya.

“Rano …”

“Iya, Del. Saya tidak kemana-mana.”

“Aku suka sama kamu. Maukah kamu jadi pacar aku?”

"..."

----



gambar dari https://www.artstation.com

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:


Pucuk Dicinta Mila pun Tiba



 photo Jangancopasing.jpg



Komentar