Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kejutan di Hari Kedua Lebaran



“Bi, mama sama papa belum pulang, ya?” tanya Tasya begitu asisten rumah tangga mereka membuka pintu rumah.
“Belum, Nak. Tadi memang mereka bilang pulangnya agak malam.”

Hari kedua Lebaran hampir berakhir. Tasya menghempaskan tubuh tambunnya ke atas sofa sepenuh hati. Di atas meja ruang tamu masih ada bertoples-toples kue Nastar, Kuping Gajah dan Kaestengel. Tapi tidak seperti biasanya, dia enggan menyicip satu dua potong kenikmatan itu. Sepanjang hari ini dia sudah berkunjung ke rumah tujuh teman kantornya jadi perutnya telah benar-benar penuh. Aroma opor ayam yang disiapkan bibi dari ruang makan juga tidak mampu lagi menggugah seleranya.


Sambil melakoni posisi wuenak itu, dia melihat-lihat kembali foto-foto yang mengisi galeri handphone hari ini. Sesekali dia merapikan poni yang sedikit mengganggu keasyikannya menatap frame demi frame lalu sesekali menyunggingkan senyum di antara dua pipi tembemnya.

Panggilan dari nomor yang belum dikenali masuk ke handphone-nya. Tasya mengernyitkan kening, tapi tetap menjawab telepon itu dengan salam. Balasan suara berat seorang cowok terdengar, lalu percakapan awal terjadi.

“Iya, lagi di rumah nih. Tapi maaf, dari mana ya?”

Terdengar tawa renyah dari seberang sana.

“Maaf, Sya. Aku kangen banget sampai lupa menyebutkan nama. Ini Ridho. Masih ingat kan?”

“Ridho?” Tasya mencoba mengingat-ingat. Dia punya beberapa teman bernama Ridho.

“Kita sekelas waktu SMP, kamu biasa manggil aku cungkring. Sudah ingat?”

Ingatan Tasya meloncat jauh ke tahun-tahun SMP-nya. Sesaat kemudian, wajah Ridho yang imut-imut langsung memenuhi ruang kepalanya. Senyum cerahnya pun mengembang.

“Astagaaa, Ridho! Aku ingat sekarang. Eh, bukannya kamu di Jakarta?”

Seingat Tasya Ridho bersama keluarga harus pindah ke Jakarta karena papa Ridho dipindahtugaskan ke sana. Sebelum pindah mereka menjual rumah yang selama ini ditempati di kota Kendari.

“Iya. Bokap nyokap izinin aku liburan ke sini. Aku nginap di rumah sepupu.”

“Oh gitu. Jadi kamu tinggal di mana, Ridho?”

“Udah, biar aku aja yang main ke rumah kamu. Masih boleh bertamu kan?”

Tasya melirik jam yang terpatri di dinding ruangan. Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan lewat sedikit. Belum terlalu malam.

“Kebetulan aku juga lagi di jalan dekat rumah kamu. Eh, rumah kamu masih di situ kan?”

Senyum Tasya mengembang lebih lebar lagi. Saat SMP dulu, Ridho memang beberapa kali ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok.

“Iya, iya masih. Oke, aku tunggu ya.”

__

Tak sampai 10 menit kemudian, Ridho sudah muncul di pintu ruang tamu. Mereka bersalaman dengan canggung. Tasya lalu mempersilakan Ridho duduk dan menikmati kue kering serta softdrink yang sudah disiapkannya juga dengan canggung.

Diam-diam dia pangling dengan sosok Ridho yang jauh berbeda. Hilang sudah bayangan Ridho yang ceking dan pecicilan, berganti sosok Ridho yang tegap, gagah, dewasa dan kelihat smart di balik kacamatanya.

Awalnya mereka saling menyapa dengan kaku. Tapi setelah mengobrol satu dua topik, kekakuan itu mulai mencair. Sudah terdengar suara tawa lepas di antara keduanya. Setelah suasana semakin cair, mereka pun melepas rindu selayaknya dua sahabat lama yang baru saja bertemu. Ngomong ngalor ngidul tentang karir, hobi, kabar kawan-kawan sampai gosip artis-artis.

“Hah, besok sudah mau terbang ke Jakarta?” tanya Tasya terkejut setelah mereka ngobrol kurang lebih setengah jam lamanya.

“Iya, Sya. Makanya aku bela-belain ke sini.” sahut Ridho. “Gak nyangka kamu ternyata sudah banyak berubah. Tambah cantik dan tambah … sehat.”

Tasya tertawa.

“Kamu juga. Pasti tidak ada yang panggil kamu cungkring lagi kan? Kamu sekarang lebih …” sambung Tasya sambil mengangkat tangan kanannya dan memperagakan gaya binaragawan beraksi.

Ridho tertawa.

“Nah, panggilan itu yang sebenarnya bikin aku termotivasi buat menggemukan badan. Aku nge-gym sejak SMA. Sekarang juga masih tapi sudah jarang, kebanyakan lembur soalnya.”

Percakapan mereka terjeda musik panggilan masuk di handphone Ridho. Begitu Ridho mau menjawabnya, suara panggilan berhenti.

“Ini sepupu aku, Sya. Dia tadi mampir ke rumah temannya dulu, tidak jauh dari sini. Memang tadi aku suruh balik ke sini setengah jam lagi buat jemput aku,” ucap Ridho.

“Lah, sepupunya gak disuruh masuk dulu?”

“Gak usah! Nanti makanan kamu diabisin sama dia,”

Tasya tertawa geli. Ridho pun berdiri sebagai isyarat akan mengakhiri rendezvous mereka.

“Salam untuk mama papa kamu, ya. Untuk kakak kamu juga.”

“Oke, oke. Kak Upi sekarang sama suaminya tinggal di pulau Buton.”

Ridho mengangguk-angguk.

“Salam buat pacar kamu juga.”

Pipi tembem Tasya langsung bersemu. “Kamu ngejek ya? Mana ada sih cowok yang mau sama cewek gendut kayak aku?”

Ridho mengernyitkan kening. “Serius?”

Sesaat keduanya seperti kehilangan kata-kata.

“Aku aja mau jadi cowok kamu. Tasya, kamu harus sadar kalau kamu itu cantik, baik hati dan pinter. 

Mungkin kamu hanya perlu lebih membuka hati lagi sama orang.”

Pipi Tasya tambah bersemu. “Kamu pinter gombal juga ya.”

Ridho tersenyum. “Aku gak main-main, Sya. Terutama di bagian, jadi cowok kamu. Tapi terserah, kamu mau anggap itu gombalan juga gak apa-apa. Eh, tahu nggak, waktu SMP kamu itu cinta monyet aku.”

Terdengar bunyi klakson mobil dari luar rumah. Ridho menunjuk ke pintu dengan jempolnya.

“Itu kode buat aku. Oke Tasya, senang banget bisa ketemu kamu lagi. Nanti kita telpon-telponan lagi ya,”

“Oke Ridho. Aku juga senang bisa ketemu kamu.” Tasya ikut berdiri.

Keduanya kembali canggung, mau salaman atau cipika cipiki. Akhirnya mereka pun ber-high-five ria sambil tertawa sebelum Ridho keluar dari ruang tamu.

Dari balik pagar depan, Tasya bisa melihat Honda Siegra hitam metalik yang menjemput Ridho berputar balik lalu berjalan perlahan-lahan menyusuri jalanan kompleks dan menghilang di balik tirai malam.

Tasya menutup pintu dengan semringah. Masih bisa tercium aroma woody dari parfum Ridho. Kata-kata Ridho juga masih terngiang-ngiang jelas di telinganya. Dia rasanya berada di awan-awan saat ini.

Ridho, tahu nggak, kamu juga cinta monyet aku, batin Tasya.

__

Setelah mama papanya sampai di rumah, mereka masih sempat mengobrol beberapa saat sebelum Tasya masuk ke kamar, membersihkan sisa-sisa make up yang masih melekat, lalu merebahkan diri ke tempat tidur. Walaupun sisa make up sudah bersih, senyum manis masih melekat di wajahnya.
Tasya kembali meraih handphone untuk menyimpan nomor Ridho ke contact list-nya. Sayang, nomor tersebut ternyata tidak terhubung dengan aplikasi whatsapp. Tanpa sadar jempol Tasya mejentik nomor Ridho. Tasya baru menyadari hal itu ketika nada sambung dua kali berbunyi. Buru-buru dia memutuskan panggilannya.

“Kenapa ditelepon, goblok!” maki Tasya pada dirinya sendiri. Dengan berdebar-debar dia menunggu apa Ridho akan menelepon balik atau tidak. Sepuluh detik, 30 detik, satu menit. Tidak terjadi apa-apa. Tasya mengembuskan napas lega. Ridho pasti masih on the way. Tasya pun segera mematikan handphone-nya dan memejamkan mata untuk mengantar jiwa ke alam mimpi.

__

Kantor masih libur, tapi kebiasaan Tasya menunaikan salat subuh membuatnya tetap terbangun lebih awal. Dia ingin segera ke kamar mandi, namun rasa penasaran rupanya mengalahkan rasa ingin buang air kecil-nya. Dia pun menyalakan kembali handphone. Notifikasi-notifikasi dari whatsapp dan sosial media lainnya masuk silih berganti.

Dengan mata yang masih setengah tertutup, Tasya terheran-heran. Sepagi ini sudah ada puluhan pesan whatsapp yang masuk. Oh, dari grup whatsapp teman-teman SMP dulu. Anggotanya kebanyakan teman seangkatan yang masih berdomisili di Kendari dan sekitarnya. Grup whatsapp ini kurang aktif, jadi dia penasaran kenapa pagi-pagi benar sudah ada lebih dari empat puluh chat baru. 

Dia pun mengurut satu per satu chat yang belum terbaca.

Teman-teman, kenal Ridho kan?
Ridho yang mana ya?
Yang tinggal di jalan Pelangi. Dulu @Tasya biasa panggil cungkring
Oh, yang pindah ke Jakarta.
Iya benar.
Tadi aku dapat kabar dari sepupunya, kalau Ridho sudah meninggal karena kecelakaan.

Mata Tasya terbelalak.

Hah? Serius. Meninggal di mana?
Di Jakarta. Sepupunya tadi silaturahmi ke rumah, masih keluarga dengan suami aku.
inalillahi wainailaihi rajiun

Tangan Tasya bergetar. Dia tidak tertarik lagi membaca ucapan-ucapan belasungkawa selanjutnya. Dia kembali ke chat paling awal untuk melihat waktu yang tertera di sana. Jam 23.11. Pada waktu itu dia memang sudah terlelap.

Ada satu pesan SMS lagi yang belum dibacanya. Hah!? Dari Ridho?

Dengan detak jantung yang mulai tidak beraturan, Tasya membuka SMS tersebut.
Ass. Maaf dari bapak/ibu siapa? Mohon doanya ya, Kak Ridho tadi sore meninggal dunia karena tabrakan. Kalau ada keperluan bisa langsung lewat nomor saya 085689821867, a/n Riko. Sekali lagi mohon doa dan maafnya untuk dosa-dosa almarhum.

Tasya kini benar-benar lemas. Pikirannya berkecamuk seperti monyet-monyet yang berloncatan tanpa arah ke sana-kemari. Air putih dalam gelas besar di atas meja dihabiskannya sekali teguk.

Kalau Ridho telah berpulang, terus yang tadi malam datang dan bilang cinta monyet itu …?


---tamat--- 


gambar dari https://www.aliexpress.com/

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Pengelana Malam






 photo Jangancopasing.jpg

Komentar