Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kinmi dan Bintang Jatuh



Aku bermimpi melihat langit malam begitu cerah. Bintang-bintang yang tak terhingga jumlahnya berkedip-kedip genit di atas sana. Di sudut langit yang lain, bulan separuh purnama juga sedang bersolek ria. Langit malam seperti layar raksasa dengan semarak para penari cahaya di latar depannya.
Sebuah bintang bergerak perlahan memisahkan diri dari kawanannya. Semakin lama gerakannya semakin cepat. Lalu aku tersadar, bintang itu sedang terjatuh dengan deras menuju ke arah rumahku.
Semakin dekat, cahayanya semakin terang dan tidak sampai tiga helaan napas kemudian, bintang jatuh itu mendarat dengan keras di bawah jendela kamarku. Suaranya seperti batu sebesar gunung jatuh menimpa bumi.

Lalu dari bawah jendela kamar, asap putih tebal menguar. Bersamaan dengan itu, api mulai melahap separuh kayu jendela. Aku pun berdoa meminta hujan turun sejenak, tapi kemudian teringat awan mendung sedang bertugas di kutub selatan saat ini.

Kinmi pernah berkata, bintang jatuh itu simbol keberuntungan. Aku percaya saja. Tapi saat ini aku setengah percaya, setengah panik, karena api sudah membakar separuh kain korden jendela. Saat pesta api unggun, Kinmi pernah berkata, dia sangat menyukai suasana itu karena api unggun melambangkan semangat dan keberanian.

Api sekarang melahap separuh kamar tidurku. Aku tidak mungkin menunggu awan mendung datang. Ya, dia bisa saja datang dari kutub selatan saat ini. Tapi dia terlalu baik. Dia pasti akan mampir untuk mengguyur seperempat benua afrika dulu sebelum hadir di langitku.

Aku mulai merasa tersakiti oleh panas api ini. Asap juga semakin pekat dan menyesakkan. Aku kepanasan dan tak bisa bernapas sekaligus. Jangan-jangan aku tidak sedang bermimpi?


Jangan-jangan …


Jangan-jangan …

***

Rasanya kepalaku sejuk sekali, seperti dielus tangan embun pagi. Saat membuka mata, berkas cahaya matahari pagi yang masuk lewat ventilasi kamar menyambutku. Ah, rasa sejuk ini ternyata berasal dari kain kompres di atas dahiku. Saat menyingkirkan kain itu, tanganku menyenggol kepala Kinmi yang terbaring di sisi tempat tidur.

Kinmi, gadis manis berambut lurus sebahu, blasteran Jepang Manado itu pun terbangun. Kulit di bawah matanya sedikit menghitam, mungkin karena kurang tidur semalam. Tapi dia tetap cantik di mataku, apalagi dengan senyum semanis ini.

“Kamu sudah baikan, Aldo?”

Dia pun bangkit dari kursinya dan meraba keningku.

“Rasanya lumayan,” sahutku.

“Iya, demam kamu sudah turun,” sambungnya.

“Kamu tidak ikut kegiatan hiking pagi ini?”

“Aku sudah minta izin ke Kak Dimas buat jagain kamu.”

Gara-gara kesibukan seminggu terakhir mengurusi kegiatan penyambutan dan orientasi mahasiswa baru, aku jadi kurang awas dengan kesehatanku. Puncaknya kemarin, tak lama setelah rombongan sampai di salah satu villa di puncak, tempat kegiatan kami selama tiga hari ini, aku langsung drop dan semalam demam tinggi.

Dentingan gelas dan sendok terdengar dari sudut kamar. Walaupun baru saja sakit, aku belum pernah merasa sebaik ini.

Bintang jatuh dan kebakaran yang aku rasakan dalam mimpi mungkin karena hatiku memang sedang terbakar. Terbakar api cinta pada gadis manis yang saat ini menyeduh teh hangat buatku. 


-----


gambar dari https://https://2plus7.com/

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Cawan Pengantin







 photo Jangancopasing.jpg

Komentar