Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Bahagianya Diputus Cinta




Sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah, perasaanku tidak enak. Entah mengapa. Mestinya aku bahagia. Tadi big boss memanggilku ke ruangannya dan menanyakan kesiapanku berpindah divisi, sekaligus berpindah level manajemen, setingkat lebih tinggi.
 “Kinerja kamu setahun ini seperti bintang kejora. Bersinar,” ucapnya.
“Siap, bos. Aku coba. Mudah-mudahan tetap bisa memberikan yang terbaik untuk perusahaan,” sahutku.
“Mesti itu artinya kamu harus pindah kota?”

Aku terdiam sejenak. Wajah Mirina langsung terbayang di benakku.
“Iya, boss,” sahutku sambil menjaga agar suaraku tidak bergetar.
 Begitu sampai di rumah aku memberitahu kabar tentang promosiku itu kepada Mirina, kekasihku. Sebenarnya, aku butuh support darinya, agar bisa melangkah dengan plong. Tetapi Mirina justru marah-marah tidak karuan. Mungkin ini yang membuat perasaanku tidak enak sepanjang jalan pulang dari kantor tadi.
Tapi keputusanku sudah bulat. Toh sesekali kami bisa saling berkunjung. Jarak kota kami hanya sejam perjalanan udara jauhnya.
-----
Setahun kemudian.
Hubungan kami semakin hambar. Akhir-akhir ini kami jarang sekali bertukar sapa lewat sosial media , atau saling menelepon seperti yang sering kami lakukan saat aku baru dipindahtugaskan dulu.
Di antara jam-jam lemburku, habit orang-orang finance saban akhir bulan, pesan dari Mirina masuk. Mataku berbinar-binar kembali, lalu cepat-cepat membuka pesan itu.
“Jay, aku capek dengan hubungan kita seperti ini. Aku tidak kuat di-LDR-in lama-lama, Jay. Jadi mungkin kita jalani hidup kita masing-masing saja mulai malam ini. Kita putus. Maaf ya Jay, kalau selama ini sudah membuatmu susah dengan segala keegoisanku.”
That’s it.
Aku diputus cinta hanya lewat pesan sosmed se-simple itu.
Mestinya aku sedih kali ini, tapi… kenapa rasanya aku malah bahagia ya? Rasanya hidup lebih ringan.
Handphone-ku bernyanyi,
“Halo, Ri,” sapaku pada si penelpon.
“Mas Jay lembur lagi, ya? Masih lama, nggak?” terdengar suara merdu Chery, tetangga kontrakanku.
“Iya, nih, Ri. Emang kenapa?”
“Aku baru abis masak Sop Iga nih, Mas. Kalau mau, ntar aku anterin ke kantor Mas Jay. Kebetulan aku sama mbak Sofi mau ke rumah saudara. Tinggalnya di sekitar kantor mas Jay…”
Aku tersenyum. Mungkin inilah yang membuat aku tidak jadi bersedih diputus cinta malam ini.


---




gambar dari https: www.vectorstock.com

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:


Mak Comblang Getir

Komentar