Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Malam belum begitu larut, tapi Zanitha sudah terlelap. Wajahnya begitu ayu
di bawah cahaya lampu baca. Dalam tidur dia tersenyum malu-malu, entah apa yang
dia mimpikan. Mungkin tentang studio
milik kekasihnya yang begitu kaya warna, mungkin tentang kisah cinta antar
dimensi, mungkin juga tentang semesta yang terus memuai. Entahlah.
Tak mau sedikit pun mengusik mimpi gadisnya, Hans mengecupnya
pelan-pelan, lalu keluar dari kamar tidur. Sesampai di studionya, Hans lanjut
bekerja merampungkan lukisan yang dipesan seorang pengusaha terkenal, lukisan
tentang supermoon di atas bukit
salju.
Selagi jemarinya bergerak-gerak lincah mencampur beberapa warna di atas kanvas,
gawainya berbunyi kencang. Hans menyibak rambut yang berserakan di depan
dahinya untuk melirik sejenak layar gawai. Nisa, begitu nama si pemanggil
tertera di layar gawai. Hans hanya menekan tombol mute lalu melanjutkan lukisannya.
Sebenarnya banyak gadis yang tertarik dengan pria cool ini. Siapa yang tidak? Dia seorang seniman terkenal, usia cukup
matang, wajah tenang tapi kokoh, blasteran Jawa dan Jerman. Hanya saja pintu
hatinya sudah tertutup rapat-rapat, karena dia sudah punya Zanitha. Sayangnya, tidak
banyak gadis yang mengetahui rahasia itu, termasuk Nisa.
Sesekali dia mengajak Zanitha berkeliling kota, berdua saja. Sesekali juga
dia mengajak kekasihnya itu mengunjungi alam terbuka, tetapi setelah memastikan
tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka berdua. Biasanya, orang yang
sedang kasmaran gemar memamerkan kemesraan mereka di depan dunia. Tapi tidak
untuk Hans dan Zanitha.
Pada suatu hari yang panas di pertengahan bulan Juni, Hans mengadakan
pameran tunggal dengan memajang 30 lukisan karyanya. Sebagian besar lukisan
bergaya realisme dengan tema sosial dan lingkungan. Ada juga yang bergaya
surealisme dengan kesan gelap dan misterius, seperti menampilkan sisi lain sang
pemilik lukisan.
Dia menyewa sebuah galeri megah di utara metropolitan. Tempat yang masih
asri, karena dikelilingi puluhan pohon mahoni dan trembesi. Hans beruntung.
Ekonomi sedang tergelincir, tapi cukup banyak tamu yang bersedia memenuhi
undangannya. Hadir di antaranya para selebritis, pemilik industri hiburan dan beberapa
politisi. Mereka contoh konkrit simbiosis mutualisme. Tapi Hans tidak terlalu
peduli hal itu. Selagi masih ada yang bersedia menghargai karyanya dengan
pantas, dia sudah cukup bahagia.
Nyaris seharian dia berkeliling galeri menemani para tamu untuk
memuaskan dahaga estetika mereka. Lirikan kagum dan nakal berpasang-pasang mata
wanita tidak mengusik ketenangannya. Sesekali ada yang berhasil mengajaknya
berswafoto, atau bertukar kartu nama. Tapi selain berbagi aroma cedarwood, parfum favoritnya, dia tidak pernah
sedikit pun memberi mereka harapan untuk mencubit sebagian hatinya, sedikit pun.
Menjelang petang, galeri sudah lengang. Hans mulai merasa lelah setelah
adrenalin dalam darah menyusut perlahan. Saat menuang segelas air dari
dispenser, suara sopran manja mengejutkannya.
“Aku lebih suka lukisan yang ada di dalam kamar.”
Hans merapikan rambutnya yang mulai berserakan lagi di depan dahinya.
Seorang wanita muda tersenyum dengan manis, tepat dua langkah di belakangnya.
“Ah, Nisa. Itu koleksi pribadi. Tapi … bukankah tidak sopan masuk ke
ruang privat seseorang tanpa izin?”
“Maaf, Hans. Aku tadi, sedikit tersesat. Aku baru sekali ini berkunjung
ke tempat ini,” sahut Nisa. “…tapi aku serius. Aku jatuh cinta pada lukisan
itu.”
Hans tidak menanggapi. Setelah menghabiskan air dalam gelas, dia
meletakkan gelas kosong ke atas buffet.
“Aku tidak melihatmu sejak tadi.”
Nisa tertawa pelan. “Tentu, karena banyak wanita lain yang
mengelilingimu,” sahutnya.
Hans ikut tertawa. Dia lalu memberi isyarat kepada Nisa untuk segera
beranjak dari situ.
“Ayo bicara bisnis. Aku dan staf akan segera berkemas-kemas,” ucapnya.
Nisa termasuk ke dalam barisan wanita yang tidak akan diberi hati sedikit pun.
Malam harinya Hans duduk di depan perapian dengan pandangan sayu. Dia
didera kesedihan mendalam karena harus mengakhiri hidup Zanitha dengan
tangannya sendiri. Zanitha yang malang kini hampir tak tersisa di dalam
perapian. Sudut gulungan kanvas yang belum sempat dimakan api, disodoknya masuk
lebih dalam.
Hans membatin,
Maafkan aku, Zanitha.
Kamu,.. sudah tidak suci lagi. Kita sudah berjanji satu sama lain, bukan, aku
menciptakanmu dengan syarat tidak seorang pun boleh memandang keindahanmu
selain aku. Ya, ini memang bukan sepenuhnya salahmu. Tapi janji tetaplah janji.
Malam semakin larut, tapi Hans belum terlelap. Dia mencoba melupakan
kesedihannya dengan menata easel lalu menggelar kanvas kosong di sana. Palet
berisi cat aneka warna di tangan kiri, dan kuas sudah siap di tangan kanannya.
Dia menyapukan kuas sekenanya di atas palet lalu menggurat permukaan kanvas
dengan hati-hati. Warna merah merona tertera di situ, begitu kontras dengan latar
kanvas yang putih pucat.
Ya, Delima. Delima bisa jadi nama yang manis untuk kekasih baruku, batinnya.
---
gambar dari https://thewallpaper.co/
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Ayam Goreng Madu
Komentar