Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Melodi yang Bisa Dimakan



Andai saja melodi itu bisa dibentuk sesuka hati, batin Carmela.
Gadis berusia 13 tahun itu selalu menghabiskan sore harinya dengan duduk di bawah jendela ruang makan panti asuhan yang terbuka. Dari situ dia bisa memandang langit yang berwarna biru, jingga atau kelabu dan awan-awan yang menghiasinya.

Seperti awan-awan yang bisa berubah bentuk menjadi apa saja, dia ingin agar melodi juga bisa selentur itu, bisa dibentuk jadi kelinci, wajah bayi, pohon, buah pisang dan lainnya. Bahkan bila perlu dibentuk jadi lolipop raksasa lalu diberi warna-warni yang semarak serta gula untuk penguat rasa.

Sepertinya seru juga kalau melodi yang sebelumnya hanya digunakan untuk memoles lirik lagu agar bisa dinyanyikan orang-orang, bisa jadi salah satu jenis makanan. Tidak perlu lagi capek-capek mencoba mendengarkan getaran setiap nada, cukup dikunyah dan dirasakan saja keindahannya.

…atau boleh juga jika melodi itu bisa dilukis jadi pemandangan;  gunung membentang, sungai dan daun hijau, atau sudut-sudut kota. Jadi cukup dipandangi sepuasnya.
Saat itu seorang wanita setengah baya berpakaian putih-putih menghampirinya lalu melakukan gerakan tangan sebagai isyarat kalau sudah waktunya untuk mandi dan studi sore. Carmela mengangguk. Wanita setengah baya berlalu dan Carmela mengekor.

Gadis manis ini memang menderita tuna rungu sejak bayi.

Andai saja melodi bisa dibentuk sesuka hati.    



gambar dari https: www.shutterstock.com/1453768553

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Bocah di Bawah Payung




Komentar