Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Asyiknya Masuk Vlog Tuan Presiden



Dul sedang menikmati seruputan jus terong belanda ketika perhatiannya beralih pada sosok seorang pria kurus berkemeja putih. Pria itu berada sekitar lima meter dari meja yang digunakannya untuk makan siang. Bukan saja wajah yang familiar, aksi pria itu juga membuat perhatiannya teralih sejenak.

Pria itu menggenggam smartphone berlayar lega dengan posisi selfie sembari cuap-cuap seperti seorang reporter bola. Rasanya bukan mengambil gambar tapi video. Pria itu mendekat sehingga Dul kini bisa mendengar ucapannya,

“…ini bukti mendirikan usaha sekarang gak pakai ribet , gak pakai susah lagi. Pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya untuk memajukan dunia usaha di Indonesia. Nah, saya akan mencari satu pelanggan untuk memberi komentar.”

Pria kurus itu menoleh ke kiri dan kanannya seperti kucing masuk kandang ayam. Dul terperangah, kacamatanya yang nyaris memburam karena uap rawon sampai hampir jatuh.

Apa laki-laki itu….?? Ah, tidak mungkin! Kalau memang itu beliau, mestinya saat ini banyak pria-pria kekar di dalam restoran. Tapi…

Degh!

Pria itu kurus itu kini menuju ke mejanya. Dul pura-pura tidak memerhatikan sambil menggeser kursi di bawah tubuh tambunnya ke arah lain sebagai isyarat bahwa dia tidak ingin diusik.

Tapi pria kurus itu tahu-tahu dia sudah berada di depannya. Pria kurus mengalihkan mode kamera dari front ke rear camera, sehingga wajah Dul yang bulat langsung memenuhi layar smartphone itu.

“Maaf, Mas, mengganggu makan siangnya. Namanya siapa, Mas?”

“Abdul, dipanggil Dul…” Dul menjawab ragu-ragu.

“Oke Mas Dul, saya wawancara bentar boleh, ya. Sering makan di sini, Mas? Menu favoritnya apa, Mas?”

Belum dijawab boleh atau tidak, pria itu langsung main cecar saja. Seingat Dul sudah enam kali dia berkunjung ke restoran itu semenjak diresmikan kurang lebih tiga bulan lalu.

Dul pun mengangguk kecil. Sebenarnya dia malas diperlakukan seperti itu, tapi karena yang berada di depannya orang asing dia pun menjawab sekenanya.

Nasi rawon Mix sama Gado-gado Fusion, Pak, sama…”

“Nah, bagaimana kesannya dengan restoran ini, Mas?”

“Ng… bagus sih, hanya…”

“Baik, terima kasih waktunya, Mas Dul. Sampai ketemu lagi, ya. Nah, pemirsa sekarang kita cari salah satu pelayan restoran buat ditanya-tanya juga…”

Pria kurus menyalami Dul seadanya lalu berjalan menjauh sambil terus cuap-cuap dan menatap layar smartphone-nya.

Gak sopan! keluh Dul.

Orang-orang di sekitar situ yang semula memberi perhatian pada sesi wawancara Dul kembali melanjutkan aktivitas makan siang mereka.

“Mas Dul, ya?”

Dul terkejut lagi. Sedotan jus hampir ikut ditelan saking kagetnya.

Siapa lagi sih ini?

Seorang cowok sebayanya namun dengan tubuh lebih sehat berpakaian corps duduk di sampingnya sambil menyodorkan selembar voucher ke arah Dul.

“Ini ucapan terima kasih karena sudah mau diwawancarai pak Presiden tadi. Nanti sore tayang di vlog-nya, bisa dicek.”

Dul jadi speechless.

“Jadi tadi itu benar-benar pak Jokowi?”

Ya, ampun. Akhirnya bisa juga ketemu Presiden kita, batin Dul. Walaupun pertemuan singkat tapi cukup berkesan. Harus cek vlog presiden nih sebentar sore. Sebelumnya diumumkan dulu sama orang-orang sekantor, mereka pasti takjub setengah mati.

Cowok yang menyerahkan voucher tertawa lepas.

“Bukaaan. Itu Presiden Direktur perusahaan saya, Mas. Pak Hanung namanya. Dia yang memimpin jaringan restoran Indonesian Fusion se-Indonesia, termasuk restoran ini. Memang rada mirip pak Jokowi, sih.”

Dul yang sudah terbang sampai ke awan mendadak jatuh terjerembab, tertimpa tangga, diinjak gajah pula.

“Bukan? Padahal saya sudah yakin banget kalau tadi itu Jokowi. Wajahnya familiar sekali.”

“Iyalah memang mirip. Mungkin juga familiar karena foto pak bos ukuran besar juga ada nangkring di depan restoran tuh, di spanduk selamat datang.”

“Oh, gitu…”

Dul manggut-manggut lagi.

“Lagian kalau memang benar tadi pak Jokowi, situ pasti sudah bonyok diapit ajudan-ajudannya. Hihi… nih diambil vouchernya, Mas. Makasih, ya. Sering-sering mampir…”

Setelah menyerahkan voucher, cowok itu pamit dan meninggalkan Dul.

Dul yang ditinggalkan masih dirundung kecewa, tapi begitu melihat angka Rp50.000 tertera di permukaan voucher senyumnya kembali merekah.

“Lumayanlah, anggap saja makan siang gratis…”

---



gambar dari https: freepik.com

Pertama kali tayang di Kompasiana.


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Udin Broken Heart



Komentar