Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Dul sedang menikmati seruputan jus terong belanda ketika perhatiannya beralih pada sosok seorang pria kurus berkemeja putih. Pria itu berada sekitar lima meter dari meja yang digunakannya untuk makan siang. Bukan saja wajah yang familiar, aksi pria itu juga membuat perhatiannya teralih sejenak.
Pria itu menggenggam smartphone
berlayar lega dengan posisi selfie sembari
cuap-cuap seperti seorang reporter bola. Rasanya bukan mengambil gambar tapi
video. Pria itu mendekat sehingga Dul kini bisa mendengar ucapannya,
“…ini bukti mendirikan usaha sekarang gak pakai ribet , gak
pakai susah lagi. Pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya untuk
memajukan dunia usaha di Indonesia. Nah, saya akan mencari satu pelanggan untuk
memberi komentar.”
Pria kurus itu menoleh ke kiri dan kanannya seperti kucing
masuk kandang ayam. Dul terperangah, kacamatanya yang nyaris memburam karena
uap rawon sampai hampir jatuh.
Apa laki-laki itu….??
Ah, tidak mungkin! Kalau memang itu beliau, mestinya saat ini banyak pria-pria
kekar di dalam restoran. Tapi…
Degh!
Pria itu kurus itu kini menuju ke mejanya. Dul pura-pura
tidak memerhatikan sambil menggeser kursi di bawah tubuh tambunnya ke arah lain
sebagai isyarat bahwa dia tidak ingin diusik.
Tapi pria kurus itu tahu-tahu dia sudah berada di depannya.
Pria kurus mengalihkan mode kamera dari front
ke rear camera, sehingga wajah Dul
yang bulat langsung memenuhi layar smartphone
itu.
“Maaf, Mas, mengganggu makan siangnya. Namanya siapa, Mas?”
“Abdul, dipanggil Dul…” Dul menjawab ragu-ragu.
“Oke Mas Dul, saya wawancara bentar boleh, ya. Sering makan
di sini, Mas? Menu favoritnya apa, Mas?”
Belum dijawab boleh atau tidak, pria itu langsung main cecar
saja. Seingat Dul sudah enam kali dia berkunjung ke restoran itu semenjak
diresmikan kurang lebih tiga bulan lalu.
Dul pun mengangguk kecil. Sebenarnya dia malas diperlakukan
seperti itu, tapi karena yang berada di depannya orang asing dia pun menjawab
sekenanya.
“Nasi rawon Mix
sama Gado-gado Fusion, Pak, sama…”
“Nah, bagaimana kesannya dengan restoran ini, Mas?”
“Ng… bagus sih, hanya…”
“Baik, terima kasih waktunya, Mas Dul. Sampai ketemu lagi,
ya. Nah, pemirsa sekarang kita cari salah satu pelayan restoran buat
ditanya-tanya juga…”
Pria kurus menyalami Dul seadanya lalu berjalan menjauh
sambil terus cuap-cuap dan menatap layar smartphone-nya.
Gak sopan! keluh
Dul.
Orang-orang di sekitar situ yang semula memberi perhatian
pada sesi wawancara Dul kembali melanjutkan aktivitas makan siang mereka.
“Mas Dul, ya?”
Dul terkejut lagi. Sedotan jus hampir ikut ditelan saking
kagetnya.
Siapa lagi sih ini?
Seorang cowok sebayanya namun dengan tubuh lebih sehat
berpakaian corps duduk di sampingnya sambil
menyodorkan selembar voucher ke arah Dul.
“Ini ucapan terima kasih karena sudah mau diwawancarai pak
Presiden tadi. Nanti sore tayang di vlog-nya,
bisa dicek.”
Dul jadi speechless.
“Jadi tadi itu benar-benar pak Jokowi?”
Ya, ampun. Akhirnya
bisa juga ketemu Presiden kita, batin Dul. Walaupun pertemuan singkat tapi cukup berkesan. Harus cek vlog presiden
nih sebentar sore. Sebelumnya diumumkan dulu sama orang-orang sekantor, mereka
pasti takjub setengah mati.
Cowok yang menyerahkan voucher tertawa lepas.
“Bukaaan. Itu Presiden Direktur perusahaan saya, Mas. Pak
Hanung namanya. Dia yang memimpin jaringan restoran Indonesian Fusion se-Indonesia, termasuk restoran ini. Memang rada
mirip pak Jokowi, sih.”
Dul yang sudah terbang sampai ke awan mendadak jatuh
terjerembab, tertimpa tangga, diinjak gajah pula.
“Bukan? Padahal saya sudah yakin banget kalau tadi itu Jokowi. Wajahnya familiar sekali.”
“Iyalah memang mirip. Mungkin juga familiar karena foto pak
bos ukuran besar juga ada nangkring
di depan restoran tuh, di spanduk
selamat datang.”
“Oh, gitu…”
Dul manggut-manggut lagi.
“Lagian kalau memang benar tadi pak Jokowi, situ pasti sudah
bonyok diapit ajudan-ajudannya. Hihi… nih
diambil vouchernya, Mas. Makasih, ya. Sering-sering mampir…”
Setelah menyerahkan voucher, cowok itu pamit dan
meninggalkan Dul.
Dul yang ditinggalkan masih dirundung kecewa, tapi begitu
melihat angka Rp50.000 tertera di permukaan voucher senyumnya kembali merekah.
“Lumayanlah, anggap saja makan siang gratis…”
---
gambar dari https: freepik.com
Pertama kali tayang di Kompasiana.
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Udin Broken Heart
Komentar