Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kembaran


Cerpen-Kembaran oleh pical gadi


Mbah Enteng yang tinggal tidak jauh dari rumah, pemilik warung rokok kecil-kecilan, pernah bilang ada gadis makhluk halus yang suka padaku. Aku penasaran jadinya, tapi Mbah Enteng tidak pernah mau bercerita lebih lanjut. Dia hanya berpesan agar aku jangan suka aneh-aneh saja, kuliah yang benar dan tetap rajin sembahyang. Menurutnya makhluk itu tidak jahat. Dia juga tidak tinggal di rumah dan hanya mengikutiku pada saat-saat tertentu saja. Mbah Enteng pun tidak paham pola munculnya yang acak.

Saat ini Mbah Enteng sudah pindah kembali ke kampung halaman. Jadi kami sudah tak pernah bertemu lagi. Aku pun nyaris lupa tentang penglihatannya itu sampai pada suatu hari yang mendung di akhir Januari.

Jam tanganku menunjuk angka satu. Mestinya panas matahari sedang berada di puncaknya. Tapi mendung tebal bergelayut di langit kota. Belum sampai hujan, hanya gerimis tipis, jadi aku belum mau memakai mantel hujan melapisi jaket kulit saat memacu sepeda motor ke arah indekost Rara, adik semata wayangku ke arah selatan kota. Usia kami hanya terpaut dua tahun jauhnya, jadi keakraban kami lebih mirip sahabat daripada kakak adik.

Kami tidak sekampus. Jarak rumah dan kampusnya cukup jauh, jadi Rara meminta izin pada orang tua untuk menyewa kamar indekost cewek di salah satu rumah penduduk. Kost seperti itu banyak bertebaran di sekitar kampus. Dia berbagi biaya dengan salah satu teman seangkatan yang juga teman se-SMA-nya. Hitung-hitungannya, ongkos transport plus makan siang lebih mahal daripada biaya kost. Juga lebih menunjang kenyamanan jika ingin mengaso, karena kadang-kadang ada kuliah pagi, siang break, lalu sore sambung kuliah lagi.

Bapak dan ibu pun mengizinkan dengan catatan Sabtu-Minggu harus tetap pulang ke rumah. Rara setuju. Aku pun dapat tugas tambahan jadi “polisi”. Maksudnya harus sering-sering main ke kostnya, untuk memastikan si tuan putri ini baik-baik saja.

Aku baru saja bertengkar dengan Almirah. Kami sudah hampir setahun ini pacaran, tapi kalau dipikir-pikir belakangan ini kami lebih sering ribut daripada akur. Mungkin selain untuk menghindari hujan yang turun sebentar lagi, sisa-sisa emosi ini juga yang membuat aku menggeber motor seperti orang kesetanan.

40 menit setelah meninggalkan fakultas teknik, aku sudah parkir di rumah kost Rara. Rumah kost berlantai dua ini cukup luas. Keluarga pak haji, empunya kost, tinggal di lantai satu. Sementara di lantai dua ada empat kamar yang masing-masing berukuran 3 meter x 4 meter untuk disewakan ke anak kost. Ada dapur, ruang cuci jemur dan kamar mandi bersama di bagian belakang lantai dua. Kemudian terdapat tangga beton yang langsung menghubungkan beranda atas dengan parkiran motor di samping rumah.

Saat hendak meniti anak tangga, Rara muncul dari atas. Dia tersenyum manis. Kunciran rambut sebahunya menari-nari seirama dengan langkahnya menuruni tangga.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Ke warung depan sebentar. Naik saja, pintu kamar tidak terkunci,” sahutnya. Setelah berpapasan dengannya, aku naik ke beranda atas. Kamar Rara dan Aisyah, teman sekamarnya, berada paling ujung dekat dapur. Aku harus melewati koridor yang memisahkan kamar bagian kanan dan kiri untuk sampai ke sana. Saat kami berkirim pesan tadi,  Rara bilang Aisyah ada jadwal kuliah siang sampai sore, jadi aku bebas sekalian tidur siang di kost kalau ingin.

Saat membuka pintu kamar aku terkejut setengah mati. Jendela kamar sedang terbuka lebar, jadi kamar terang benderang dan jelas sekali apa yang nampak di depan mataku.

Rara di atas kasur sedang menatapku dengan tatapan aneh. Kunciran dan baju kaosnya sama persis dengan yang dikenakan sosok di tangga tadi.

“Kenapa, Boy?” tanyanya.

Suaraku tertahan sejenak. “Ka,… kamu dari tadi di sini?”

Rara mengangguk. “Kenapa?”

“Lalu siapa di tangga tadi?” tanyaku setengah berteriak. Rara seketika paham apa yang baru saja terjadi.

“Ayo masuk,” dia langsung bergegas ke arah dispenser dan mengisi gelas kosong dengan air. Aku masuk, meletakkan tas punggung ke lantai dan menghempaskan pantat ke atas tempat tidur dengan lemas. Rara menyodorkan gelas berisi air dan dalam sekali teguk air dalam gelas langsung tandas di tenggorakanku.

“Serius? Tadi kamu lihat …?”

“Iya, berani sumpah. Mirip sekali sama kamu,” sahutku.

Rara memindahkan kursi plastik dari belakang meja belajar ke depan kasur.

“Terus kamu bilang apa?” tanyanya lagi.

“Tadi aku tanya, mau ke mana, dia jawab ke warung depan, lalu aku disuruh naik saja karena pintu kamar tidak terkunci.”

Rara bergidik ngeri. “Jangan-jangan ini semacam tanda bentar lagi aku meninggal.”

“Huss! Aku sih malah tiba-tiba langsung ingat Mbah Enteng yang tinggal dekat rumah dulu. Kamu ingat, gak?”

Rara mengangguk lalu mata bolanya membesar. “Naah, itu dia. Bisa jadi, bisa jadi. Cewek yang suka sama kamu muncul lagi. Apalagi dia mungkin tahu kamu habis bertengkar sama yayang.”

Wajah tegang Rara langsung berganti dengan wajah centil, wajah sehari-harinya. Aku lebih suka wajah versi itu. Aku mengangkat bahu. Tadi sebelum ke sini aku memang juga curhat tentang pertengkaranku dengan Almirah.

Suara gerimis yang mulai menderas sejenak mengalihkan perhatian kami.

“Ra, air panas di dispenser nyala tidak? Bikinin kopi dong.”

“Nanti dinyalakan, tidak lama kok. Oke, aku bikinin kopi. Tapi sebentar bantu kerja tugas kalkulus ya,” sahutnya. Anak ini memang paling jago soal todong menodong.

“Siap! Apa sih yang enggak buat tuan putri.”

Rara terkekeh.

Sambil menunggu air dalam dispenser panas dan kopi diracik, aku pun membaringkan badan ke atas kasur yang empuk dan mencoba memejamkan mata. “Eh, Ra, tapi tadi kamu tidak kenapa-kenapa, kan? Tidak ada yang aneh?” tanyaku.

“Tidak kok. Kamu tuh yang datang bawa keanehan ke sini.”

Sepertinya aku lagi butuh istirahat. Begitu kepala mampir di bantal tahu-tahu aku langsung tertidur pulas, malah sampai mimpi. Seorang gadis yang belum pernah kulihat, tapi entah mengapa wajahnya begitu familiar, hadir di depanku. Wajahnya sedikit pucat tapi tersenyum manis kepadaku. Dia menatapku dalam, seperti hendak menyampaikan sesuatu.

Suara dentingan sendok dengan gelas dan aroma kopi susu kemasan yang memenuhi rongga hidung berhasil mengenyahkan mimpiku. Aku terbangun dan memandang jam tangan. Ah, aku tertidur tak sampai 10 menit.

“Terima kasih, ya,” ucapku saat Rara menyodorkan gelas keramik berisi kopi yang masih mengepul. Sebaiknya aku tidak memberitahunya mimpi aneh barusan, dia nanti bisa jadi berpikir macam-macam.

“Ra, teman-teman kamu pada kuliah semua, ya? Kost sepi sekali. Aku minum kopi di teras depan ya.”

Rara mengiyakan lalu kembali larut dengan gawainya. Aku keluar kamar sambil meniup-niup udara di atas gelas. Hujan di luar semakin deras.

Pada langkah ketiga setelah keluar dari pintu kamar, aku terhenti.

Di ujung sana, di beranda depan, seseorang sedang menyibak air hujan dari rambutnya. Tangannya memegang plastik berisi belanjaan dan mengeluh sendiri. “Uh, hampir saja kehujanan,” serunya heboh saat melihatku keluar kamar.

Untuk kedua kalinya aku terkejut setengah mati. Aliran darah dan detak jantung rasanya berhenti beberapa saat. Rara yang lain beranjak masuk dari beranda depan. Tanpa kusadari gelas keramik meluncur dari genggamanku dan jatuh berserakan ke lantai.

Rara, entah dia atau bukan, menatapku heran. Ya, mahkluk mana pun pasti heran melihat ekspresi kagetku saat ini.

“Kenapa, Boy?” tanyanya berhenti beberapa langkah di depanku.

“Kamu …? Rara, kamu?”

Pikiranku serasa terbolak-balik. Tapi untunglah keping-keping logikaku masih tersisa untuk sedikit berpikir jernih. Kebetulan tangan kiriku masih memegang gawai dan layarnya terbuka pada posisi aplikasi telepon. Aku langsung mengetuk satu tombol untuk melakukan panggilan ke nomor gawai Rara.

Dua detik kemudian, nada panggil Rara, Rara yang di hadapanku berbunyi. Dia cepat-cepat mengambil gawai dari saku celananya lalu melihat panggilan itu. Wajahnya nampak semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Ada apa sih, Boy?”

Aku tidak mau langsung menjawab, perlahan-lahan aku mundur tiga langkah dan memutar kepala dengan pelan ke arah kamar yang pintunya masih terbuka. Pelan, pelan sekali. Seperti putaran kepalaku hari itu menentukan hidup atau mati. Jendela kamar sedang terbuka lebar, jadi kamar terang benderang dan jelas sekali apa yang nampak di depan mataku. Kamar kosong melompong, sepi seperti kuburan.

“Kenapa, Boy?” Rara setengah berteriak. Dia mulai ketakutan.

"Ya, ampun! Aku dibikinin minum sama makhluk halus," gumamku.


--- 

gambar dari https: pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Pengelana Malam



Komentar