Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Labirin Mimpi



 

Aku menyusuri lorong bawah tanah selebar rentangan tangan ini dengan hati-hati. Penerangan hanya berasal pendar cahaya lilin-lilin yang diletakkan jauh di atas sana. Jarak antara lilin yang satu dan yang lain hanya sekitar 10 langkah kurasa, tapi dengan posisi setinggi itu rasanya nyaris tidak ada lagi cahaya yang jatuh ke lantai batu untuk menerangi kaki. Beberapa kali aku terantuk pada bongkahan-bongkahan batu yang seperti muncul tiba-tiba.

Ah, lagi-lagi ada keluarga tikus yang melintas tiba-tiba, mereka keluar dan masuk dari celah-celah sempit di dasar dinding. Setelah itu… oh, tidak! Jangan lagi! Setelah melewati keluarga tikus selalu ada persimpangan sialan ini. Jalan manapun yang aku pilih seperti selalu membawaku kembali ke sini.

Kali ini aku memilih untuk lurus saja. Saat berjalan beberapa puluh meter, aku baru menyadari ada seorang yang mengikutiku dalam diam. Dia memakai mantel tebal berwarna gelap, wajahnya ditutupi tudung mantel. Tapi aku bisa melihat kumis dan janggut lebat yang memutih saat di berkata,

“Kamu tidak bisa keluar dari sini.”

Tidak ada nada mengancam disitu. Jadi aku memberanikan diri bertanya,

“Sebenarnya dimana aku ini, Tuan?”

“Labirin mimpi!”

Sepi sesaat.

“Jadi ini hanya mimpi? Berarti aku hanya perlu terbangun agar bisa keluar dari sini?” tanyaku lagi.

Pria bermantel bergeming.

“Sesederhana itu memang.”

“Lalu anda, apa yang terjadi dengan anda, Tuan?”

“Aku penjaga labirin. Tugasku hanya mengingatkan orang-orang yang tersesat seperti kamu. Sekarang permisi, Anak muda. Aku harus terus berjalan…,”

Dia kembali berjalan dan melewatiku dalam diam. Ujung mantelnya yang panjang tersaruk-saruk seirama dengan langkah kakinya.

Terbangun, aku hanya perlu terbangun. Mengapa tidak terpikirkan sejak tadi?

Aku pun menutup mata perlahan, menarik napas panjang, dan membuka mata…

***

Kepalaku rasanya berat sekali, pandangan pun samar-samar, seperti baru bangun dari tidur yang dalam dan panjang. Mataku menangkap cahaya dengan sempurna, semuanya menjadi lebih jelas. Seprei jingga kesukaanku, jam dinding, kalender dengan brand perusahaan tempatku bekerja, poster besar Slank. Syukurlah aku kembali ke dunia nyata. Tiba-tiba Gadgetku berbunyi nyaring. Aku menoleh dan baru ingat semalam meletakannya di atas meja kerja. Aku pun bergegas bangkit dari atas pembaringan untuk mengambil…

“Aaaaa…!!!”

Apa yang terjadi?! Aku meluncur kencang ke bawah! Poster, kalender dan dinding kamar tiba-tiba lenyap dan berganti dengan… langit biru sejauh mata memandang. Aku terus meluncur menembus awan-awan dengan deras. Nampak mobil-mobil dan gedung pencakar langit dari ketinggian… dan terus mendekat. Terus mendekat dan…

***

Gelap…

Apakah aku telah mati?

Kepalaku rasanya berat sekali, pandangan pun samar-samar, seperti baru bangun dari tidur yang dalam dan panjang.

Aku mengerjabkan mata. Memang tak ada yang bisa terlihat dalam kegelapan ini. Aku pun mencoba bangun dan menjerit kesakitan karena kepalaku membentur sesuatu. Ini dinding… dinding batu yang panjang. Aku baru menyadari di atas sana ada penerangan, seperti cahaya lilin. Aku pun baru menyadari aku sedang terjebak di tengah-tengah lorong yang panjang, seperti lorong-lorong bawah tanah yang biasa aku lihat di layar kaca.

Perhatianku teralih pada decit halus. Beberapa ekor tikus sedang melintas dan masuk ke salah satu celah di dasar dinding. Seorang memakai mantel gelap tahu-tahu sudah berdiri di dekat kakiku. Memoriku berputar.

“Aku kembali lagi, Tuan. Apa yang terjadi?” tanyaku hampir menangis.

“Kembali? Kamu tidak kemana-mana!”

Aku terkejut.

“Lain kali berhati-hatilah memilih mimpi. Tapi sepertinya tidak ada lagi gunanya. Aku sudah berhari-hari menyusuri labirin mimpi, dan sudah menolong belasan orang yang tersesat. Tapi kamu… kamu tidak pernah kemana-mana, aku selalu mendapatimu terbangun di lorong ini.”

“Apa maksudnya itu?”

“Aku sudah tua. Sepertinya Sang Mata telah memilihmu untuk menggantikanku.”

Ini pasti hanya mimpi buruk. Aku cepat-cepat kembali berbaring dan menutup mata….

***

Mataku terbuka…

Penjaga labirin tetap berdiri di dekatku.

 

---

gambar dari pinterest.com

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:



 

Komentar

michelle mengatakan…
Numpang promo ya Admin^^
ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- GOPAY
- Link AJA
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
add Whatshapp : +85515373217 x-)