Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Seorang kakek yang pada masa mudanya terkenal sebagai penulis lagu sedang menunggu rembulan, malam ini setengah purnama, muncul dari balik awan-awan berwarna perak. Sudah beberapa hari ini mereka berbincang-bincang dengan hangat. Rembulan dari langit malam dan sang kakek dari balkon lantai dua rumah yang terbuka tanpa atap.
Dia sudah
menyiapkan kopi, kacang rebus dan beberapa potong biskuit gandum yang akan jadi
teman ngobrol mereka. Tubuh tuanya dibalut sweater
rajutan untuk membantunya menghalau gigitan angin malam.
Beberapa hari
lalu mereka berbincang tentang sejumlah lokasi wisata di seluruh penjuru dunia
yang saat ini sedang sepi pengunjung. Rembulan berkata pandemi ini adalah cara
ibu bumi menjaga keseimbangannya. Tempat-tempat eksotik itu seperti seorang
introver. Mereka sesekali butuh keheningan untuk memulihkan kembali energi yang
terkuras saat menerima ratusan bahkan ribuan tamu.
Kemarin, mereka
berbincang tentang ekonomi. Rembulan bilang resesi hanyalah konsekuensi logis
dari spekulasi para petinggi negeri. Saat resesi terjadi, mereka hanya perlu
mengambil spekulasi lainnya. Bukankah demikian hukum universal kehidupan ini?
Jika kita tidak bisa menciptakan pilihan, kita harus melempar dadu ke atas
permainan lalu menunggu mata dadu menunjukkan pilihan yang kita ambil.
Ah, seandainya hidup sesederhana itu? batin sang kakek.
“Memang hidup
sesederhana itu,” sahut rembulan saat muncul dari balik awan.
Sang kakek
terkejut, “Kamu bisa membaca pikiran?” tanyanya.
“Tak perlu jadi
pembaca pikiran, Kawan. Sangat jelas dari kerut-kerut di keningmu,” rembulan
tertawa kecil. “Bagaimana kalau hari ini kita ngobrol tentang seni?”
“Ah, itu topik
favoritku.”
Sepanjang malam
mereka pun bercerita tentang seni. Seperti biasa, rembulan lebih sering
mendominasi pembicaraan. Sang kakek hanya menimpali sesekali. Rembulan
bercerita tentang Picasso, Michael Angelo bahkan Chairil Anwar dan banyak
seniman lainnya. Ternyata sejumlah orang dari mereka juga gemar bercakap-cakap
dengan rembulan.
“Mengapa
terdiam?” tanya rembulan.
“Ah, kopiku
habis, Kawan… dan aku menikmati ceritamu,” sahut sang kakek.
“Tidak, kamu
sedang memikirkan sesuatu.”
Kakek terdiam
lagi beberapa saat. “Katakan padaku, apa yang mereka lakukan saat tidak ada
lagi yang menerima karya mereka? Apa yang mereka lakukan di masa tua, saat
dunia bahkan tidak ingat lagi nama mereka?”
Rembulan
memicingkan mata. Lalu menjawab mantap. “Aku akan memberitahukan jawabannya
beberapa hari lagi, saat aku sudah jadi purnama yang paripurna. Ini sebuah
janji.”
“Mengapa harus
menunggu selama itu, Kawan?”
“Biar kamu
penasaran,” rembulan tertawa kecil lagi.
“Kulitku dan
tanah sudah hampir sama baunya. Apa kamu yakin aku masih hidup selama beberapa
hari ke depan untuk menunggu jawabannya? Apa kamu juga selalu membuat mereka
menunggu?”
Rembulan
terdiam.
“Kamu tahu,
kawan?” ucapnya. “Sebenarnya mereka tidak pernah menunggu. Mereka berkarya.
Lihatlah dirimu, kapan terakhir kali kamu menulis lagu? Setahun, dua tahun,
lima tahun … “
“10 tahun.”
“10 tahun?”
“Ya. Aku sudah
10 tahun tidak menciptakan lagu lagi, Kawan.”
Rembulan
terdiam saking terkejutnya.
“Tulislah
sesuatu, Kawan. Buatlah lagu yang gembira atau sedih.”
“Entahlah,
Kawan. Mereka tidak akan menyukai lagu-laguku, zaman sudah jauh berbeda,” ucap
sang kakek ragu-ragu.
“Ayolah, Kawan.
Sejak kapan kamu menciptakan lagu untuk memuaskan orang lain? Tapi, ya, tidak
ada salahnya juga membuat lagu yang kekinian, bukan?”
“Mereka tidak
akan menyukai laguku.”
Rembulan
memandang penuh simpati pada sang kakek. “Masih ingat tentang dadu yang aku
ceritakan kemarin? Hidup sesederhana itu. Sekarang yang jadi permainan dan dadu
adalah lagu yang akan kamu ciptakan. Kamu tidak akan pernah tahu hasilnya
sebelum melempar dadu ke atas permainan.”
Kakek
mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Kawan. Mungkin aku akan mencoba menulis lagu
tentang dirimu.”
Rembulan
tertawa lagi. “Sudah banyak yang menulisnya. Tapi aku akan merasa sangat
terhormat, Kawan. Terima kasih.”
Beberapa hari
kemudian rembulan yang sudah jadi purnama memenuhi janjinya. Sayangnya, saat
menyinari balkon yang dibiarkan terbuka tanpa atap, tempat itu telah kosong dan
senyap. Sang kakek telah terbaring di bawah batu nisan. Dua hari lalu dia
mengalami serangan jantung dan tak terselamatkan lagi.
Rembulan pun
memandangi batu nisan dengan duka mendalam.
Di sudut ruang
tamu, seorang pianis, anak bungsu sang penulis lagu, sedang memainkan partitur
lagu yang ditemukan di kamar kerja ayahnya. Judul lagu itu Bulan Setengah Purnama. Hanya judul dan barisan nada-nada
melankolis tanpa lirik. Tapi irama lagu itu menyiratkan kebahagiaan sekaligus
kesedihan.
Anak-anak dan
cucu sang kakek merasa aneh. Sudah bertahun-tahun, sang kakek tidak pernah
membuat lagu lagi. Saat sedang menciptakan lagu baru, ternyata ini adalah lagu
terakhir dalam hidupnya.
Ah, seandainya saja
mereka bertanya pada rembulan, mereka pasti akan mengetahui jawabannya. Bahkan
jika beruntung, rembulan bersedia mengisi lirik-lirik lagu yang masih kosong
itu.
Komentar
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^ x-)