Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Timot kelihatan gagah sekali dengan ikat kepala warna hitam bertuliskan Tolak UU Cipta Kerja. Warna ikat kepala itu senada dengan warna maskernya. Baju kaos oblongnya juga berwarna hitam legam, tapi tulisannya Marilyn Monroe dengan gambar wajah dan bibir sensual aktris legendaris itu. Agak tidak nyambung sih, tapi tidak apa, yang penting hitam sesuai dresscode yang sudah mereka sepakati.
Siang ini dia dan beberapa kawan lain rencananya akan
bergabung bersama ratusan massa lainnya dalam rangka aksi menolak UU cipta
kerja yang baru saja disahkan.
Timot adalah salah satu karyawan pada perusahaan kasur. Ikut
aksi demo ini adalah panggilan hati nuraninya untuk memperjuangkan hak-hak
pekerja kecil. Harus semangat, prinsipnya. Jangan sampai kalah dengan semangat para
pejuang yang dulu senjatanya hanya bambu runcing melawan penjajah yang bersenjatakan
senjata api.
Saat menelusuri gang-gang yang akan mengantarkannya ke depan
jalan raya dengan sepeda motor matic-nya,
Timot berhenti tepat di depan rumah kontrakan Rangga, kawannya. Rangga terlihat
sedang santai di ruang tamu. Timot pun mampir sebentar.
Mereka dulu pernah jadi satu tim di perusahaan distributor
makanan ringan. Tapi tidak lama. Setelah itu nasib membawa mereka pada
peruntungan yang berbeda. Rangga sekarang melakoni usaha service handphone. Tapi
mereka tetap menjalin komunikasi, apalagi tinggalnya juga berdekatan, sehingga
sampai sekarang mereka tetap menjadi teman akrab.
“Eh, Kamu, Mot. Ayuk masuk. Tahu aja kalau lagi ada rezeki,
hehe,” goda Rangga. Di atas meja tamu memang ada setoples kue salju yang masih
terisi penuh dan seteko sirup jeruk.
Timot pun tanpa dipersilakan langsung menjulurkan tangannya
ke dalam toples.
“Hush!” Rangga menepuk tangan Timot, sehingga Timot kaget.
“Kamu dari luar kan? Cuci tangan dulu, gih. Itu ada air di luar pintu.”
Timot memandang termos air dan sabun cair yang memang
disiapkan Rangga untuk tamu-tamunya di luar pintu masuk dengan tatapan malas.
Entah menguap kemana semangat 45 yang tadi.
“…atau ini, pakai hand
sanitizer saja,” Rangga menjulurkan sebotol hand sanitizer yang diambilnya
dari bawah meja.
“ah, ya ini saja,” semangat Timot kembali muncul. “Tumben
kamu gak jaga counter HP?” tanya Timot sambil menggosok-gosok cairan hand sanitizer di antara telapak
tangannya.
“Ada Ahmad kok. Tadi dari pagi juga di counter, tapi sepi.
Lagian si Ratih bilang mau main ke sini, mau suruh nyoba kue-kue buatannya. Dia
rencana mau buat usaha kue kering. Jadi ya, nyantai dulu. Nanti agak sorean
lagi baru aku balik ke counter.”
Timot manggut-manggut seperti burung kakatua. “Oh, ini yang
bawa Ratih ya? Lah, Ratih-nya mana?”
Ratih itu pacar Rangga.
“Ada… tadi pamit mau ke toilet, eh,” sahut Rangga, sedikit
terkejut. Dalam sekejap, Timot langung mengambil dua kue salju dan
menghabiskannya dalam waktu hampir bersamaan. “Pelan-pelan makannya, Mot.
Buru-buru amat.”
Timot nampak bersusah payah mendorong gumpalan besar kue
salju dari mulut ke kerongkongannya, sehingga Rangga berinisiatif, “Eh, iya.
Belum ada minumnya. Aku ambilin air putih ya?”
Mata Timot melotot, lalu memberi isyarat dengan melirik teko
berisi sirup jeruk yang masih setengah. Rangga tertawa melihat kelucuan
sobatnya itu. “Iya, maksudku aku ambil gelas ya buat sirup kamu?”
Timot mengangguk lega.
Tak sampai semenit kemudian, Timot sudah terlihat semringah
meneguk segelas besar sirup. Sekali teguk lebih dari setengah gelas tandas.
“Kamu gak ikut aksi nolak RUU Cipta Kerja, Kawan?” tanya
Timot sambil kembali merogoh isi toples.
“Iya, ya. Lagi ramai. Eh, apa kamu sudah baca undang-undang
lengkapnya?” Rangga balik bertanya.
Timot terkejut. “Belum sih. Tapi kan banyak yang bilang
kalau UU itu merugikan pekerja kecil seperti aku ini. Di media sosial juga
ramai kan?” jawabnya.
“Kamu sudah baca point-point dalam undang-undang yang
katanya merugikan pekerja kecil?”
“Belum juga,” sekali lahap satu potong kue salju masuk
dengan utuh ke dalam mulutnya.
“Terus kamu ikut aksi karena paham atau karena ikut ramai
saja?” goda Rangga lagi.
“Ah, kawan. Kalau urusan baca-membaca itu urusan orang-orang
pintar macam kau ini. Kalau urusan aksi, ya kasih ke kami.”
Rangga tertawa lagi. “Jangan begitu. Ikut aksi, demontrasi
itu, baik kok. Yang penting paham saja apa yang sedang menjadi tuntutan kita.
Kalau gak paham, atau malah salah paham kan bisa jadi bias nanti perjuangannya.”
Handphone Timot
berbunyi nyaring. Dia pun buru-buru menelan potongan besar kue salju sebelum
menjawab panggilan tersebut.
“Halo, Bang!” sapa Timot. “Iya, Bang, Siap! Ini sudah o te
we. Oke, oke.”
Setelah mengakhiri panggilan, Timot memasukkan kembali handphone ke saku celana jeans-nya.
“Aku pamit ya. Sudah ditunggu teman-teman,” ucapnya lalu
memandang isi toples dengan tatapan nelangsa.
“Oke, Bro. Mau dibungkuskan sekalian kuenya?” sahut Rangga
sembari menarik lembaran tissue
kotak.
Timot tersenyum lebar, “Boleh. 6 potong ya. Hehe. Kue buatan
si Ratih enak banget. Sudah cocok dia buka usaha.”
Rangga mencibir, “Enak atau lapar?”
“Tahu aja kalau aku belum makan siang. Oke, kawan. Terima
kasih ya,” setelah menerima bungkusan tissue, Timot langsung beranjak
meninggalkan ruang tamu.
“Oke, mantap. Eh, eh, tunggu!” seru Rangga dari dalam.
“Ada apa lagi sih?” Timot yang sudah duduk di atas sadel
motor sudah terlihat tidak sabaran.
“Demo boleh saja kawan. Tapi jangan sampai setelah undang-undang
dibatalkan, kamu malah positif covid!”
“Doa kamu jelek amat
sih!,” seru Timot. “Eh, iya ya. Masker ku ketinggalan di dalam.”
Timot pun buru-buru turun dari motor dan mengambil maskernya
yang tertinggal di atas sofa, lalu kembali menghidupkan motornya dan pamit
kepada Rangga. Kali ini benar-benar pamit.
Rangga hanya menggeleng-geleng kecil sambil tersenyum
memandang sobatnya itu dari kejauhan. Tapi begitu melihat dengan seksama
kembali isi toples dia kaget. Tadi sebelum Timot datang toples masih penuh,
sekarang volume isi toples tinggal setengahnya. Rangga pun menepuk jidat.
Komentar